Rabu, 18 Maret 2020

SHARF DAN PERMASALAHANNYA Oleh Drs. ISAK MUNAWAR, MH Persoalan valuta atau mata uang telah lama dibicarakan oleh para cendekiawan muslim berabad-abad lamanya, sehingga banyak yang mengomentari bagaimana hukum tukar-menukar (jual beli dalam arti umum) valuta ini. Pengertian Sharf Sharf secara etimology adalah penambahan, penukaran, pemindahan atau suatu bentuk transaksi jual beli. Wahbah Al-Zuhaily1 menyatakan bahwa arti pokok sharf adalah al-ziyadah artinya penambahan atau pertumbuhan. Selain itu sharf dalam matan hadis diartikan dengan ‘ibadah yang diajurkan, sebagaimana terdapat dalam hadis : ً ً ً ولا عدلا ً من انتمى إلى غير أبيه لا يقبل االله منه صرفا ) 1 «)ولا فرضا أي لا نفلا Artinya “Orang yang menghubungkan dirinya terhadap selain ayahnya, maka Allah tidak akan menerima perbuataan nafilah dan fard-nya. Dalama hadis lain sharf diartikan dengan taubat, sebagaimana hadis Al-Thabrany dari ‘Ummar bin Auf Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: ً أو آوى ً ومن أحدث حدثا ً ولا عدلا «من تولى غ ر موال ه فعل ه لعنة االله وغضبه وم الق امة، لا قبل االله منه صرفا «ً ً ولا عدلا ً فعل ه لعنة االله وغضبه وم الق امة، لاقبل االله منه صرفا محدثا Artinya “orang yang menyerahkan perkaranya selain kepada mawalinya, maka kepadanya ada la’nat Allah dan Allah marah terhadapnya pada hari kiamat, Allah tidak akan menerima taubat dan tebusannya dan orang yang mengada-ada sesuatu yang baru atau membuat sesuatu yang baru, maka terhadapnya ada la’nat Allah, dan Allah marah terhadapnya pada hari kiamat, Allah tidak menerima taubat darinya dan tidak juga menerima fidyahnya.”2 Sedangkan dalam pengertian terminology ulama memberikan definisi yang berbeda diantaranya menurut Ulama Al-Hanafiyah sharf adalah : ً ً أو نقدا ً بجنس أو بغير : أي بيع الذهب بالذهب، أو الفضةبالفضة أو الذهب بالفضة، مصوغا جنسبيع النقد بالنقد جنسا Artinya “perjanjian jual beli suatu valuta (mata uang) dengan valuta yang lainnya baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis, seperti jual beli emas dengan emas, perak dengan perak atau emas dengan perak dan perak dengan emas, baik berupa emas perak perhiasan maupun sebagai alat tukar. 3 Menurut Ulama Al-Hanabilah dan Al-Syafi’iyah 4 sharf adalah : 1 Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Juz IV halaman 356. 2 Ibid 3 Lihat ‘Ala’u Al-Din Al-Kasany, Bada’iu Al-Shana’iy, Juz V halaman 215. 4 Lihat Mughni Al-Muhtaj Juz III halaman 25 dan Ghayah Al-Muntaha Juz II halaman 59 2 هو ب ع النقد بالنقد من جنسه وغ ر Artinya “ sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta (mata uang) dengan valuta yang lainnya baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis” Sedangkan ulama Al-Malikiyah membedakan perjanjian jual beli valuta (mata uang) yang sejenis dengan yang tidak sejenis, perjanjian jual beli valuta yang sejenis disebut dengan al-murathilah, dan perjanjian jual beli valuta yang tidak sejenis disebut dengan sharf.5 Dengan demikian transaksi jual beli valuta dapat dilakukan, baik dengan mata uang yang sejenis seperti rupiah dengan rupiah, dolar dengan dolar, maupun yang tidak sejenis seperti rupiah dengan dolar atau sebaliknya. Fuqaha mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjual belikan uang dengan uang yang sejenis maupun yang tidak sejenis. Sebagaimana perjanjian jual beli bentuk ini pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama dalam hal menjual belikan harta ribawy yang sejenis dan berimbang atau menjual belikan harta ribawy yang berlainan jenis walaupun salah satunya kualitasnya lebih bagus dan kuantitasnya lebih banyak, dilakukan dengan cara kontan.6 Dalam pembahasan literatur-literatur fikih ditemukan bentuk jual beli ini dalam hal menjual belikan alat tukar, yaitu dinar dengan dinar atau dirham dengan dinar. Pada masa sekarang bentuk jual beli ini banyak dilakukan oleh bank-bank devisa atau para money changer misalnya menjual belikan dolar Amerika, real dan yang lainnya dengan rupiah. Atau misalnya, eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekpornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Oleh karena itu akan timbul penawaran dan permintaan di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh untuk menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing), misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 12.000,- Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat dapat berubahrubah, tergantung pada situasi dan kondisi kekuatan ekonomi negara masing-masing. Islam mengakui perubahan nilai mata uang dari waktu ke waktu secara sunnatullah (mekanisme pasar), bila perubahan itu terlalu tinggi, maka campur tangan pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas mata uang. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang, yang secara nyata hanyalah tukar menukar mata uang yang kurs nilainya berbeda. Agustianto7 menegaskan ketika terjadi perdagangan international, maka setiap negara yang terlibat di dalamnya membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar 5 Lihat Ibnu Abidin Hasyah Al-Dasuqy, Juz II halaman 3. 6 Wahbah Al-Zuhaily, loc.cit. 7 Agustianto, Artikel Fikih Mu’amalah, 2011 3 negeri, yang dalam dunia perdagangan disebut devisa, demikian pula dalam hal ekportir komoditi suatu negara ke negara yang lain selalu membutuhkan devisa untuk alat bayar. Dasar Hukum Akad Sharf. Akad sharaf termasuk salah satu akad jual beli yang dibolehkan sesuai firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 275 : tbqãBqà)tƒ Ÿw (#4qt/Ìh•9$# tbqè=à2ù'tƒ šúïÏ%©!$# çmäܬ6y‚tFtƒ ”Ï%©!$# ãPqà)tƒ $yJx. žwÎ) öNßg¯Rr'Î/ y7Ï9ºsŒ 4 Äb§yJø9$# z`ÏB ß`»sÜø‹¤±9$# ã@÷WÏB ßìø‹t7ø9$# $yJ¯RÎ) (#þqä9$s% yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨@ymr&ur 3 (#4qt/Ìh•9$# ¼çnuä!%y` `yJsù 4 (#4qt/Ìh•9$# tP§•ymur $tB ¼ã&s#sù 4‘ygtFR$$sù ¾ÏmÎn/§‘ `ÏiB ×psàÏãöqtB yŠ$tã ïÆtBur ( «!$# ’n<Î) ÿ¼çnã•øBr&ur y#n=y™ $pkŽÏù öNèd ( Í‘$¨Z9$# Ü=»ysô¹r& y7Í´¯»s9'ré'sù ÇËÐÎÈ šcrà$Î#»yz Artinya “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Yang menjadi dalil kebolehan akad sharf dalam ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan jual beli (tukar menukar) dan mengharamkan riba’, ayat tersebut merupakan jawaban terhadap anggapan orang-orang Jahiliyah dengan menyatakan bahwa jual beli itu sama dengan riba’8 Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi menegaskan dalam buku Masa’il Fiqhiyah9 bahwa Forex (perdagangan valas) diperbolehkan dalam Hukum Islam, secara umum berdasarkan Firman Allah Surat al-Baqarah ayat 275 sebagaimana tersebut di atas. Demikian pula dasar hukum yang membolehkan jual beli sharf dalam hadis adalah sebagaimana hadis riwayat Muslim, yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id Al-Khudry dari Abu Hurairah dan hadis Abu Ubadah bin al-Shamid, ia berkata : َ َّم َل َس ِ و ْه َي َل ُع َّى االله ُوُل ا ِالله َصل َا َل ر «: َس َ ُب ق ُ ا َّ لذه ْح ِل الْم َ ْ ِر، و ِالتَّم ُ ب ْر التَّم َ ِ ِ ير، و ِ َّ الشع ُ ب ِير لشع ا َّ َ ُِّر، و ِالْبـ ُ ُّر ب الْبـ َ ِ، و ِ َّضة ِالْف ُ ب ِ َّضة الْف َ َ ِب، و ِ َّ الذه ب ْ ِ ئ ْ َف ش ُوا َكي ِيع َب ا ُف، ف َ َذِ ِ اْلأَ ْصن ََف ْت ه َل َا ا ْختـ ِذ َإ ٍ، ف َد ي ِ ًَدا ب ٍ، ي َاء َو ِس ً ب َاء َو ْ ٍل، س ِث ِم ًْلا ب ث ِ ْ ِح، م ِل ِالْم ْ ب ُم ٍ ت َد ِي ًَدا ب َا َكا َن ي ِذ »، إ Artinya “Telah bersabda Rasulullah SWA “emas (hendaklah dibayar) dengan emas perak dengan perak, bur dengan bur, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, sama sama 8 Lihat Abu Al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adlim Al-Syahir bi Tafsir Ibnu Katsir, (Bairut: Bairut: Dar Al-Thayyibah Li Al-Nasyr wa Al-Tauzi’, 1999) Juz I halaman 709. 9 Hasan, M. Ali, Masa’il Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga keuangan, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada 1996 4 dan sejenis, haruslah dilakukan secara kontan (yad bi yad), maka apabila berbeda jenisnya jualah sekehendak kalian dengan syarat kontan”.10 Dalam hadis lain yang diriwayatkan Muslim juga dari Aby Said Al-Khudry11: ِ ْه َي َل ُ ع َّى االله ُوَل ا ِالله َصل َس ٍ الْ ُخ ْدِر ِّي َّ ، أَن ر ِيد َع ِي س ْ أَب َا َل َن َ ، ع ق َّم َل َس ِرِق، «: و َ ِالْو ِرَق ب َ ََلا الْو َ ِب، و ِ َّ الذه َ َب ب ُوا ا َّ لذه ِيع َب َلا ت ٍ َاء َو ِس ً ب َاء َو ْ ٍل، س ِث ِم ًْلا ب ث ِ ٍ، م ْن َز ِو ًا ب ن ْ َز َِّلا و »إ Artinya “Dari Aby Sa’id Al-Khudry bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda “janganlah kamu menjual belikan emas dengan emas dan mata uang dengan mata uang, kecuali seimbang dan sama ”. Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab dan dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsani 12: َا َل ُ ق َ؟ : ، أَنَّه ِم اه َ َِر ُف ا َّ لدر َ ْصط ْ ي َن ُوُل م ْل ُت أَق َ ْـبـ ِ ا ِالله أَق ْد ي َ بـ ُ ُ ع ْن ُ ب َة َْلح ـَق - ا َل ط َ َّا ِب ف ْ ِن الْ َخط َ ب َر ُم ْ َد ع ن ِ َ ع ُو َ ، : - و ا َه ن ُ ِم َ َخاد اء َ َا ج ِذ َا، إ ن ِ ْت ُ َّم ائ َ َك، ث َب َه َا ذ ِأَرن ا ِب َّ ُ الْ َخط ْن ُ ب َر ُم ـَقا َل ع َ َ َك، ف ِرق َ ِ َك و ْط ْ نـ : ُع ِلَي َّد َّن إ ُ َر ْ لَتـ ُ، أَو َه ِرق َ ُ و َنَّه يـ ِ ْط ُع ا ِالله لَتـ َ َا َك َل َّلا، و َ ق َّم َل َس ِ و ْه َي َل ُ ع َّى االله ُوَل ا ِالله َصل َس ِ َّن ر َإ ُ، ف َه َب َه َ ه «: ِب ِ ذ ِ َّ الذه ِر ُق ب َ الْو َ َاء َِّلا ه ا، إ ً ِ ِ ير ِ رب ِ َّ الشع ُ ب ِير لشع ا َّ َ َ، و َاء َه َ و َاء َِّلا ه ا، إ ً ُِّر ِ رب ِالْبـ ُُّر ب الْبـ َ َ، و َاء َه َ و َاء َِّلا ه ا، إ ً ْ ِ ر ِر ب ِالتَّم ُ ب ْر التَّم َ َ، و َاء َه َ و َاء َه َ و َاء َِّلا ه ا، إ ً ِ ،» رب Artinya “Bahwa ia menyatakan ‘saya memengajukan pertanyaan ‘bagaimana dengan orang yang melakukan sharf terhadap dirham ?, Thalhah bin ‘Ubaidillah menjawab (sesuai pendapat Umar bin AlKhatahab), perlihatkanlah dan bawalah kepada kami emasmu, ketika pembantu kami datang, kami berikan mata uang kepadamu, Umar bin Al-Khatahab menyatakan ‘ingatlah, demi Allah sungguh engkau menyarahkan mata uang kepadanya, atau engkau mengembalikan emasnya, karena Rasulullah bersabda mata uang dengan emas13 adalah riba kecuali dilakukan dengan seimbang dan diserahterimakan secara kontan, beras dengan beras riba, kecuali dengan seimbang dan diserahterimakan secara kontan, gandum dengan gandum, kecuali seimbang dan diserahterimakan secara kontan, dan kurma dengan kurma kecuali seimbang dan diserahterimakan secara kontan “. Hadis-hadis tersebut menekankan tukar menukar barang dengan barang, atau mata uang dengan mata uang disyaratkan kualitas dan kuantitasnya sama, serta dilakukan secara tunai, misalnya emas yang kualitasnya 19 karat dengan kuantitas berat 50 gram tidak boleh ditukarkan dengan emas yang kualitasnya 24 karat dengan kuantitas 50 gram, demikian pula dengan mata uang, dan apabila jenisnya berbeda dari segi kuantitas dan kualitas, boleh dilakukan dengan syarat dilakukan secara tunai. Sebab apabila dilakukan tidak secara tunai kedua jenis mata uang tersebut sangat mungkin nilai tukarnya akan berubah sewaktu-waktu, sehingga akan merugikan pihak lain. 10 Hadis riwayat Muslim, hadis Nomor 1587 11 Hadis riwayat Muslim, hadis Nomor 1584 12 Hadis riwayat Muslim, hadis Nomor 1586 13 Emas dalam hadis tersebut adalah emas sebagai alat tukar. 5 Syarat Jual Beli Valas Syarat yang harus dipenuhi jual beli mata uang adalah sebagai berikut14 : 1. Pertukaran mata uang dilakukan secara tunai. Pembeli dan penjual masing-masing harus menerima dan menyerahkan mata uang pada saat yang bersamaan. Sesuai hadis sebagaimana tersebut di atas : ً الذهب بالذهب بيد ً بمثل، يدا ً بيد، والفضة بالفضة مثلا ً » بمثل، يدا مثلا Artinya “ menjual belikan emas dengan emas secara sama dan kontan demikian pula menjual belikan perak dengan perak”. Dalam hadis lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama, menyatakan jual beli valuta secara tangguh hukumnya riba’, sebagai mana hadis yang diriwayatkan Muslim15 dari Muhammad bin hatim bin Maimun, dari Sufyan bin ‘Uyainah, dari Amrin dan dari Aby Al-Minhal: َا َل : لَى ِ ق ْ إ ِ ِم، أَو ْس َو ِلَى الْم ٍ إ َة ِسيئ َ ن ِ ًا ب ِرق َ ِي و يك ل َ َش ِر ٌ اع َ ْ ُت ب ـُقل َ ِي، ف ن َ َر َأَ ْخبـ ِلَ َّي ف َ إ اء َ َج َا َل َ ِّج، ف ُ : الْح ، ق ُح َ ْصل ٌ َلا ي ْر لسوِق ه ، : َ َذا أَم ِي ا ُّ ُ ف ُه ت ْ ِع َ ْد ب ق ـَقا َل َ ُ، ف ُه أَلْت َ َس اِز ٍب، ف َ َ ع ْن َ ب َاء َر ْ ُت الْبـ َي َأَتـ َ ٌد، ف َ َّي أَح َل ِ َك ع َل ْ ذ ِر ْك ن ُ َم : ْ يـ ـل َ َّ ف َل َس ِ و ْه َي َل ُع َّى االله ُّي َصل ِ َ النَّب َد ، ِم َ ق ْع ي َ َ َذا الْبـ ُ ه ِيع ب َ ُ ن َ ْحن ن َ َ و َة ِين َد َ الْم م ـَقا َل «: ا َ ً ف َ ِ رب ُو ـه َ ً ف َة ِسيئ َ ا َكا َن ن َ َم ِ، و ِه أْ َس ب َ ََلا ب ٍ ف َد ِي ًَدا ب ا َكا َن ي َ م Artinya “Aby Al-Minhal mengatakan ‘Syuraik telah menjual mata uang kepada saya dengan cara ditangguhkan sampai pada musim tertentu atau sampai musim haji tertentu, kemudian seseorang (shahabat) mendatangi saya, kemudian ia bertanya kepada saya, saya jawab perkara ini tidaklah patut, ia juga mengatakan sungguh saya telah menjualnya di pasar tertentu dan tidak ada yang mengingkari seorangpun. Setelah itu saya mendatangi Al-Bara’ bin ‘Azib dan saya bertanya kepadanya, ia menjawab (ketika) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama memasuki kota, dimana kami sedang mengadakan perjanjian jual beli seperti ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda ‘apabila dilakukan secara kontan, maka jual beli ini tidak apa-apa, dan apabila dilakukan secara tangguh, maka hal itu riba’” Oleh karena itu dalam perjanjian jual beli valuta yang dilakukan dengan tidak secara tunai, menurut ulama Al-Hanafiyah hukumnya fasid, Sedangkan menurut ulama yang lain hukumnya batal karena tidak memenuhi syarat qabadl. Substansi kontan dalam hal ini adalah serah terima valuta dilakukan secara bersamaan, pada saat yang sama dan dalam majelis akad yang sama, sebelum kedua belah pihak yang melakukan akad berpisah secara nyata, yaitu masing-masing pihak berpisah badan dari majelis akad, salah satu pihak pergi ke satu tempat dan pihak yang lainnya pergi ke tempat lainnya, atau salah satu pihak pergi dari majelis akad, sedangkan yang lainnya tetap di majelis akad. Bila kedua belah pihak menetap pada 14Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Derektorat Hukum Bank Indonesia. Penelitian tentang Prinsif-prinsif Hukum Islam Dalam Transaksi Ekonomi pada Perbankan Syari’ah (Jakarta 2003) halaman 99-101 15 Hadis riwayat Muslim, nomor 1589 6 majelis yang sama walaupun dalam waktu yang cukup lama tidak dapat ditetapkan berpisah badan. Demikian pula bila kedua belah pihak pergi bersamaan dari majelis akad ke suatu tempat yang cukup jauh juga tidak dapat ditetapkan berpisah badan16 2. Motif atau tujuan pertukaran mata uang adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial bisnis pada sektor riil. Pertukaran valuta dalam hal ini bukan bertujuan bisnis untuk mendapatkan keuntungan dari perubahan nilai mata uang tertentu secara spekulasi, melainkan sebagai pendukung perdagangan barang dan jasa antar bangsa, atau dibutuhkan sebagai nilai tukar yang hanya berlaku pada negara tertentu saja. 3. Keseimbangan dan kesamaan kualitas mata uang dalam jual beli valuta yang sejenis. Apabila terjadi jual beli valuta (mata uang) yang jenisnya sama disyaratkan ukuran dan jumlah nilai tukarnya sama, walaupun kuantitasnya berbeda. Seperti boleh menukarkan uang lembaran seratus ribuan dengan nilai satu juta dengan uang lembaran lima ribuan dengan nilai satu juta juga. Kecuali kedua valuta yang diperjual belikan memiliki nilai tukar berbeda, seperti rupiah dengan dolar, dengan real, dengan ringgit dan lain sebagainya. boleh menjual satu dolar dengan dua belas ribu rupiah misalnya dengan cara kontan sesuai hadis riwayat Muslim dari ‘Ubadah bin Al-Shamat Rasulullah bersabda17: التَّ َ ِ ِ ير، و ِ َّ الشع ُ ب ِير لشع ا َّ َ ُِّر، و ِالْبـ ُُّر ب الْبـ َ ِ، و ِ َّضة ِالْف ُ ب ِ َّضة الْف َ َ ِب، و ِ َّ الذه َ ُب ب ٍ، ا َّ لذه َد ي ِ َ ًدا ب ٍ، ي َاء َو ِس ً ب َاء َو ْ ٍل، س ِث ِم ًْلا ب ث ِ ْ ِح، م ِل ِالْم ُ ب ْح ِل الْم َ ْ ِر، و ِالتَّم ُ ب ْر م ٍ َد ي ِ ًَدا ب َا َكا َن ي ِذ ْ، إ ُم ْت ِ ئ ْ َف ش ُوا َكي ِيع َب ا ُف، ف َ َذِ ِ اْلأَ ْصن ََف ْت ه َل َا ا ْختـ َإ » ِذ ف Artinya “emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam dalam keadaan seimbang dan sama, bila jenis-jenis ini berbeda, jual belikanlah sesuai kehendakmu, bila dilakukan secara kontan”. 4. Terhindar dari jual beli yang disyaratkan adanya hak khiyar. Akad sharf atau perjanjian jual beli valuta tidak diperbolehkan menyertakan unsur syarat hak khiyar, baik terhadap masing-masing pihak maupun terhadap salah satu pihak. Sebab qabadl dalam akad ini merupakan syarat pokok, sedangkan dalam akad jual beli yang didalamnya terdapat khiyar syarath akan menghalangi peralihan hak kepemilikan sebelum syarat tersebut terpenuhi. Oleh karena itu adanya hak khiyar dalam perjanajian jual beli valuta akan merusak serah terima secara kontan. Misalnya A setuju membeli mata uang asing dengan rupiah dengan syarat B sebagai penjual harus melakukan prestasi tertentu. 16 Ala’u Al-Din Al-Kasany, Bada’iu Al-Shana’i, Juz V halaman 215. 17 Hadis riwayat Muslim, hadis Nomor 1587 7 5. Transaksi berjangka dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan. 6. Valuta yang ditukarkan adalah milik kedua belah pihak. Oleh karena itu tidak dibenarkan jual beli valuta tanpa hak kepemilikan. Sedangkan dalam fatwa DSN-MUI18 terdafat empat syarat untuk berlakunya jual beli mata uang, yaitu: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada Kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan tunai (taqabbudl). 4. Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat bertransaksi dan secara tunai. Bila tidak demikian, pertukaran mata uang hukumnya riba yang diharamkan dalam Syari’ah Islamiyah. Larangan Spekulasi Valas. Sebagaimana telah ditegaskan di atas bahwa pertukaran (jual beli/barter) valas untuk hubungan sektor riil, baik yang termasuk transaksi barang maupun transaksi jasa, hukumnya diperbolehkan dalam Hukum Islam, akan tetapi apabila motifasi dari jual beli valas tersebut untuk spekulasi, maka hukumnya haram. Keharaman jual beli valas dengan motif spekulasi yang diantaranya sesuai pendapat Mahathir Muhammad yang dikenal di dunia ekonomi secara luas dengan mengecam keras praktik perdagangan valas (margin tranding valas) dengan alasan sebagai berikut: 1. Jual beli valuta asing ini tidak ubahnya seperti judi, karena dalam transaksinya penuh dengan spekulasi. 2. Kontribusi margin tranding sangat signifikan terhadap melemahnya rupiah atas dolar AS. Sedangkan melemahnya rupiah atas dollar merupakan bencana bagi ekonomi Indonesia. 3. Praktik margin tranding biasanya tidak mengindahkan fair bussines. 4. Karena tidak ada proses transaksi real, para pelaku hanya mengandalkan selisih dari harga valuta pada saat penutupan. Uang dalam pandangan Islam bukanlah komoditas dan tidak boleh dijadikan sebagai komoditas, namun dalam perdagangan valuta, yang secara jelas uang telah dijadikan komoditas perdagangan. Menurut Taqiyudin Al-Nabhani dalam buku AlNidzam al-iqtishad al-Islam,19 mengatakan bahwa uang adalah standar nilai pada barang dan jasa, demikian pula menurut Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku Ilaj Al- 18 Lihat Fatwa MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang. 19 Al-Nabhani, Taqiyudin, Al-Nidzam Al-Iqtishadi Fi Al-Islam, (Bairut: Dar Ummah, Cet VI, 2004) halaman 362 8 Musykilah al-Iqtishadi bi al-Islam memandang uang sebagai medium of exchange (media pertukaran). Para pakar ekonomi Islam sepakat bahwa perdagangan spekulasi valuta telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian dunia dan senantiasa mengancam ekonomi banyak negara. Oleh karena itu praktek spekulasi valas harus dihindarkan. Menurut ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan sektor riil, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri, sebagaimana yang dibutuhkan para jama’ah hajji dan lain sebagainya. Perdagangan valas dalam kegiatan spekulasi adalah sebuah transaksi maya (semu), karena dalam transaksi tersebut tidak terdapat jual beli sektor riil. Dalam perdagangan valas yang diperjual belikan adalah uang itu sendiri bukan barang atau jasa. Dalam transaksi maya yang diperjual belikan mereka hanya memperjual belikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Selisih dan tambahan (gain) yang diperoleh dan jual beli seperti itu termasuk riba, karena gain diperoleh tanpa adanya imbalan (bighairi iwadh), atau tanpa adanya sektor riil yang dipertukarkan, kecuali mata uang itu sendiri. Larangan riba baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis pada dasarnya adalah larangan transaksi jual beli maya. Dampak Spekulasi Perdagangan Valas. Terdapat beberapa dampak negatif spekulasi perdagangan valas, yang diantaranya perdagangan valas menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian suatu negara, yang antara lain menimbulkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang, oleh karena itu dengan adanya perdagangan valas terkadang membuat pengusaha bimbang demikian pula masyarakat umum akan terkena dampaknya, kegiatan jual beli valas cenderung mendorong jatuhnya nilai mata uang, karena para spekulan sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu negara berfluktuasi secara tajam. Bila mata uang anjlok, maka secara otomatis akan merobohkan perekonomian yang ditandai dengan naiknya harga barang-barang atau terjadinya inflasi secara tajam. Sedangkan inflasi adalah realitas ekonomi yang tidak diinginkan sistem perekonomian Islam, akibat lainnya adalah ambruknya dan goncangnya perusahaan yang tergantung pada bahan impor, pada gilirannya akan menyulitkan oprasional usaha dan oleh karena itu sering terjadi PHK besar-besaran dan dimana-mana, demikian pula suku bunga perbankan menjadi tinggi, APBN harus diadakan revisi disesuaikan dengan nilai tukar dollar. Defisit APBN pun semakin membengkak secara tajam. Dampak lain transaksi maya dalam perekonomian ialah terjadinya ketidakseimbangan arus moneter dengan arus finansial. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang atau jasa tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara. Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar, bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Melainkan jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riil. Atau 9 dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Dalam ekonomi Islam, sektor finansial dan sektor riel berada dalam keseimbangan dan homogen. Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Pemisahan antara sektor finansial dan sektor riel, berakibat ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara-negara berkembang (terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil. Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi demi keuntungan sesaat. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang minimbulkan ketidakpastian. Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah menguat. Penguatan rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepaskan rupiah sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain. Perdagangan mata uang (valas) secara signifikan menimbulkan kerawanan krisis bagi suatu negara. Karena itulah, maka konferensi tahunan Asociation of Muslim scientist di Chicago, bulan Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar dijauhkan dari segala transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi maya di pasar uang. Gejala decopling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain (tambah selisih harga jual dan harga beli). Meskipun bisa berlaku sebaliknya, yakni orang yang bisa mengalami kerugian milyaran dolar AS. Macam-Macam Transaksi Valas. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pada prinsip bermu’amalah secara syari’ah, mengenai jual beli mata uang yang disetarakan dengan emas (dinar) dan perak (dirham) haruslah dilakukan dengan tunai atau kontan (yadan bi yadin) agar terhindar dari transaksi ribawi (riba fadhl), sebagaimana dijelaskan hadits-hadis di atas mengenai jual beli enam macam barang yang dikategorikan berpotensi ribawi. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallama bersabda: “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan 10 perak, bur dengan bur, sya’ir dengan sya’ir (jenis gandum), kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, dalam hal sejenis dan sama haruslah secara kontan (yadan biyadin). Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan syarat secara kontan.” Oleh karena itu perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fiqih dengan istilah (sharf) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya.20 Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya misalnya Rupiah kepada Rupiah (IDR) atau US Dolar (USD) kepada US Dolar kecuali sama jumlahnya (misalnya pecahan kecil ditukarkan pecahan besar asalkan jumlah nominalnya sama). Hal yang demikian dapat menimbulkan Riba Fadhl seperti yang dimaksud dalam larangan hadits di atas. Namun bila berbeda jenisnya, seperti Rupiah dengan Dolar atau sebaliknya maka dapat ditukarkan (exchange) sesuai dengan market rate (harga pasar) dengan catatan harus kontan/spot (taqabudh fi’li) atau yang dikategorikan spot (taqabudh hukmi) menurut kelaziman pasar yang berlaku sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah21 Kriteria ‘tunai’ atau ‘kontan’ dalam jual beli valuta dikembalikan kepada kelaziman dan mekanisme pasar yang berlaku saat itu meskipun hal itu melewati beberapa jam penyelesaian (settlement-nya) karena proses teknis transaksi. Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli atau harga pasar (market rate). Nabi bersabda: “Perjualbelikanlah emas dengan perak kalian asalkan secara kontan” dan dalam hadits Ibnu Umar Rasulullah memberikan penjelasan bahwa ketentuan kontan tersebut fleksibel selama dalam toleransi waktu yang lazim, tidak menimbulkan persoalan dan tetap dalam harga yang sama pada hari transaksi (bisi’ri yaumiha). Sebagaimana hadis riwayat Abu dawud dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata saya menjual ibil (hitam) dengan baqi’i (belang), saya menjual dengan beberapa dinar dan saya mengambil beberapa dirham, dan demikian pula sebaliknya, saya mengambil ini dari ini dan saya memberikan ini dari ini, kemudian saya menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama yang sedang berada di rumah Hafshah ra. kemudian saya bertanya ‘wahai Rasulallah saya menjual ibil dengan baqi’i, saya menjual beberapa dinar dan mengambil beberapa dirham, saya menjual beberapa dirham dan mengambiul beberapa dinar, saya mengambil ini dari ini dan memberikan ini dari ini ?’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama menjawab ٌ ْء ا َشي َ َ ُكم ْن يـ َ بـ َ َا و ِرق َ َ ْفت ْ تـ ا لَم َ َا، م ِه ْم َو ْ ِر يـ ِ ِسع َا ب َأْ ُخ َذه َ ْ أَن ت أْس َ َلا ب Artinya “tidak mengapa engkau mengambilnya dengan penentuan harga hari (itu juga), sebelum keduanya berpisah dan diantara kamu berdua ada sesuatu”22 20 Ibnu Mundzir, Al-Ijma’ halaman 58 21 Ibnu Qadamah, Al-Mughni, Juz IV halaman 41 22 Ibnu Qadamah, ibid, Juz IV halaman 38. 11 Untuk menghindari penyimpangan syariah, maka kegiatan transaksi dan perdagangan valuta asing (valas) harus terbebas dari unsur riba, maysir (spekulasi gambling) dan gharar (ketidakjelasan, manipulasi dan penipuan). Oleh karena itu jual beli atau bisnis valas harus dilakukan dalam secara kontan (spot) atau dalam kategori kontan. Tujuan pertukaran tidak untuk spekulasi yang akan terjerumus kepada perjudian atau gambling (maysir) melainkan bertujuan untuk membiayai transaksi-transaksi yang dilakukan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah guna memenuhi kebutuhan konsumsi, investasi, ekspor-impor atau komersial baik barang maupun jasa (transaction motive). Di samping itu perlu dihindari jual-beli valas secara bersyarat dimana pihak penjual mensyaratkan kepada pembeli harus mau menjual kembali kepadanya pada periode tertentu di masa mendatang (bay’i al-wafa’), serta tidak diperkenankan menjual mata uang yang belum diterima secara definitif (bayi’ al-fudhuli) sebagaimana hal itu dilarang dalam hadits-hadis shahih riwayat imam Bukhari dan Imam Muslim. Dalam dunia perbankan termasuk bank syariah sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan international (ekspor-impor) maupun untuk melayani kebutuhan masyarakat terhadap penukaran valuta asing tidak dapat terhindar dari keterlibatannya di pasar valuta asing (foreign exchange). Ketentuan hukum transaksi yang dilakukan oleh sebagian bank syariah dalam muamalah jual beli valuta asing tidak terlepaskan dari ketentuan syariah mengenai sharf. Bentuk transaksi penukaran valuta asing yang biasa dilakukan bank syariah dapat dikategorikan sebagai taqabbudl (spot) meskipun penyerahan dan penerimaan tersebut tidak terjadi pada waktu transaksi diputuskan (dealing), melainkan penyelesaiannya (settlement-nya) baru tuntas dalam 48 jam (dua hari) kerja. Fenomena transaksi ini sudah biasa dikenal dalam dunia perdagangan internasional dan tetap disebut transaksi valas spot antar bank. Bahkan jika kebetulan bertepatan dengan libur akhir pekan, serah terima itu baru dapat terlaksana setelah 96 jam kerja.23 Dengan demikian, hukum transaksi money exchange dalam bentuknya yang sederhana sepanjang dilakukan secara tunai atau dikategorikan tunai (spot) dan bukan untuk tujuan atau memfasilitasi dan mendukung kegiatan spekulasi pada prinsipnya diperbolehkan menurut syariah Islam berdasarkan akad sharf selama menghindari pantangan syariah dalam bisnis di samping menghindari praktik perdagangan (trading) ala konvensional yang dewasa ini biasa dilakukan di pasar valuta asing antara lain24 . Pertama; perdagangan tanpa proses penyerahan (future non delivery trading) seperti margin trading yaitu transaksi jual-beli valas yang tidak diikuti dengan pergerakan dana dengan menggunakan dana (cash margin) dalam prosentase tertentu (misalnya 10% sebagai jaminan) dan yang diperhitungkan sebagai keuntungan atau kerugian adalah selisih bersih (margin) antara harga beli atau jual suatu jenis valuta 23 Dr. Al-Saih, Ahkamul ‘Uqud wal Buyu’ fil Fiqh:112, Dr. Sami Hamud, Tathwirul A’mal AlMashrafiyah, 372, Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah 24 Lihat, International Journal of Islamic Financial Services, I:1,1999 dan Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI; 2002 12 pada saat tertentu dengan harga jual atau beli valuta yang bersangkutan pada akhir masa transaksi. Contohnya dengan margin 10% untuk transaksi US$ 1 juta, pembeli harus menyerahkan dana US$100.000. Dalam perbankan Indonesia, margin trading diatur dalam ketentuan BI dengan minimal cash margin 10%. Dalam sehari dealer maupun bank dapat melakukan transaksi ini berulang-ulang. Adapun penyelesaian pembayaran dan perhitungan untung-ruginya dilakukan secara netto saja. Jadi, jual beli valas yang dilakukan bukan untuk memilikinya, melainkan semata-mata menjadikannya sebagai komoditas untuk spekulasi. Jual beli valuta seperti ini dilarang dalam hukum Islam, karena bentuk perdagangan ini bukan perdagangan pada sektor riil dan termasuk perdagangan yang mengandung unsur praktek spekulasi. Kedua, transaksi futures yaitu transaksi valas dengan perbedaan nilai antara pembelian dan penjualan future yang tertuang dalam future contracts secara simultan untuk dikirim dalam waktu yang berbeda. Misalnya, A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. A akan menjual US$ 1 juta dengan kurs Rp 9.350 per US$ pada 30 Juni 2008, tidak peduli berapa kurs di pasar saat itu. Di satu sisi transaksi ini dapat dipandang sebagai spekulasi, paling tidak berunsur maysir, meskipun di sisi lain para pelaku bisnis pada beberapa kasus menggunakannya sebagai mekanisme hedging (melindungi nilai transaksi berbasis valas dari risiko gejolak kurs). Ulama kontemporer menolak transaksi ini karena tidak terpenuhinya rukun jual beli yaitu ada uang ada barang (dalam hal ini ada rupiah ada dollar). Oleh karena itu, transaksi futures tidak dapat dianggap sebagai transaksi jual beli, tetapi dapat ditransfer kepada pihak lain. Alasan kedua penolakannya adalah hampir semua transaksi futures tidak dimaksudkan untuk memilikinya, hanya nettonya saja sebagaimana transaksi margin trading. Ketiga, transaksi option (currency option) yaitu perjanjian yang memberikan hak opsi (pilihan) kepada pembeli opsi untuk merealisasi kontrak jual beli valuta asing, tidak diikuti dengan pergerakan dana dan dilakukan pada atau sebelum waktu yang ditentukan dalam kontrak, dengan kurs yang terjadi pada saat realisasi tersebut. Misalnya, A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. A memberikan hak kepada B untuk membeli dollar AS dengan kurs Rp 9.350 per dolar pada tanggal atau sebelum 30 Juni 2008, tanpa B berkewajiban membelinya. A mendapat kompensasi sejumlah uang untuk hak yang diberikannya kepada B tanpa ada kewajiban pada pihak B. Transaksi ini disebut call option. Sebaliknya, bila A memberikan hak kepada B untuk menjualnya disebut put option. Ulama kontemporer memandang hal ini sebagai janji untuk melakukan sesuatu (menjual atau membeli) pada kurs tertentu, dan ini tidak dilarang syariah. Namun jelas saja transaksi ini bukan transaksi jual beli melainkan sekadar wa’ad (janji). Yang menjadi persoalan secara fiqih adalah adanya sejumlah uang sebagai kompensasi untuk melakukan janji tersebut atau untuk memiliki khiyar (opsi) jual maupun beli. Transaksi option dapat menjadi lebih rumit. Misalnya A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. Perjanjiannya A menjual US$ 1 juta dengan kurs Rp 9.350 per dolar kepada B. Transaksi ini lunas. Pada saat yang sama A juga memberikan hak kepada B untuk menjual kembali US 1 juta pada tanggal atau sebelum 30 juni 2008 dengan kurs Rp 9.500 per dolar. Hal ini akan gugur dengan sendirinya bila 13 kurs melebihi Rp 9.500 per dolar, itu pun bila syarat berikutnya terpenuhi. Transaksi bentuk ini menurut fatwa MUI25 hukumnya haram, karena di dalamnya mengandung unsur maysir atau spekulasi, selain itu sebagaimana di jelaskan di atas dalam pandangan Syari’ah transaksi jual beli valuta tidak boleh mengandun unsur khiyar syarath. Keempat, adalah transaksi swaps (currency swap) yaitu perjanjian untuk menukar suatu mata uang dengan mata uang lainnya atas dasar nilai tukar yang disepakati dalam rangka mengantisipasi risiko pergerakan nilai tukar pada masa mendatang. Singkatnya, transaksi swap merupakan transaksi pembelian dan penjualan secara bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan dua tanggal penyerahan yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang tersebut dilakukan oleh bank yang sama dan biasanya dengan cara “spot terhadap forward” Artinya satu bank membeli tunai (spot) sementara mitranya membeli secara berjangka (forward). Salah satu contoh transaksi swaps adalah bila bank A dan bank B membuat kontrak untuk bertukar deposito rupiah terhadap dolar pada kurs Rp 9.500 per dolar pada 1 Januari 2008. B menempatkan US$ 1 juta. A menempatkan Rp 9,5 miliar, terlepas dari kurs pasar saat itu. Ulama kontemporer juga menolak transaksi ini karena kedua transaksi itu terkait (adanya semacam ta’alluq) dan merupakan satu kesatuan sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-MUI. Sebab, bila yang satu dipisahkan dari yang lain, maka namanya bukan lagi transaksi swaps dalam pengertian konvensional. Adapun pendapat yang membolehkan transaksi swaps sebagaimana lazim dianut perbankan Islam di Malaysia bahkan menurut mereka kebolehannya dianggap telah demikian jelas sehingga tidak diperlukan lagi fatwa dengan alasannya bahwa bila spot boleh dilakukan dan futures (sebagai suatu janji) juga boleh, maka tentunya swaps pun boleh dilakukan. Namun paling tidak, masih ada dua hal yang dapat dipertanyakan dalam praktek ini yaitu; pertama, bagaimana dengan keberatan sementara ulama akan adanya kompensasi uang untuk transaksi futures yang dibayarkan kepada konterpartinya. Kedua transaksi spot dan futures dalam transaksi swaps itu haruslah terkait satu sama lain. Kontra argumen dari alasan kedua ini adalah dua transaksi dapat saja disyaratkan terkait, selama syaratnya adalah syarat shahih lazim. Bukan hanya swaps yang dibolehkan, di negara jiran ini juga dikembangkan Islamic Futures Contract. Terlepas dari argumen mana yang lebih kuat dalilnya, adalah kewajiban kita di samping mencari sisi kehati-hatian dan kepatuhan syariah, juga untuk selalu mencari solusi inovasi transaksi yang Islami sebagai kebutuhan dunia bisnis akan transaksi dan peranti keuangan (financial instruments) yang terus berkembang. Kelima, praktik oversold yaitu melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki maupun dibeli. Transaksi ini haram, karena terdapat larangan penjualan sesuatu yang tidak dimiliki sebagaimana pesan hadits “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki” (la tabi’ ma laisa ‘indaka). 25 Lihat Fatwa MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002. 14 Adapun jenis transaksi forward pada perdagangan valas yang sering disebut transaksi berjangka pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah mata uang tertentu lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan datang dan kurs ditetapkan pada waktu kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan baru dilakukan pada saat kontrak jatuh tempo. Jenis transaksi ini hukum fiqihnya dapat dirumuskan bahwa bila transaksi forward valas dilakukan dalam rangka kebutuhan yang mendesak (hajah) dan terbebas dari unsur maysir (judi), gharar (uncomplate contract), dan riba serta bukan untuk motif spekulasi seperti digunakan untuk tujuan hedging (lindung nilai) yaitu transaksi yang dilakukan semata-mata untuk mengatasi risiko kerugian akibat terjadinya perubahan kurs yang timbul karena adanya transaksi ekspor-impor atau untuk mendukung kegiatan trade finance. Di samping itu, transaksi berjangka inipun hanya dilakukan dengan pihak-pihak yang mampu dan dapat menjamin penyediaan valuta asing yang dipertukarkan maka bila tindakan tersebut dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesepakatan bersama untuk sama-sama melakukan pertukaran di masa mendatang dengan kurs (nilai tukar) pasti pada saat kontrak dan sebenarnya transaksinya secara efektif dalam perspektif fiqih tetap bersifat tunai pada waktu jatuh tempo maka hal itu tidak menjadi masalah selama tidak ada ta’alluq dan hanya bersifat janji (wa’ad) tanpa disertai adanya komitmen kompensasi karena terdapat maslahat bagi kedua belah pihak dan tidak ada dalil satupun yang melarang hal itu. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Al-Syafi’i26 dan Ibnu Hazm27 Menurut Ulama yang lain transaksi semacam ini dilarang karena di dalamanya terkandung unsur bay’u aldayin bi dayin28 atau disebut dengan bay’u al-kala’i. Sebagaaimana hadis : ْ ِن ْ اب َن َع َ و َر ِ َّي ع « ُم َ َّ -أَن النَّب َّم َل َس ِ و ْه َي َل ُ ع َّه َّى الل ْ - ِن َصل ِ َّ الدي َ ب ْن ِي ا َّ لدي ن ْ َع ِ ِئ، يـ ِالْ َكال ِ ِئ ب ْ ِع الْ َكال ي َ ْ بـ َن َى ع اُ نـ . » َه َ َو ر ِ ٍ يف ٍ َضع اد َ ْن ِس إ ِ ُ ب ََّزار الْبـ َ ا ُق و َ ْح إ . ِس Artinya “Hadis dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama melarang bentuk jual beli al-kali dengan al-kali, yaitu jual beli hutang dengan hutang. Hadis diriwayatkan Ishaq dan Al-Bazar, akan tetapi isnadnya dla’if.29 KESIMPULAN Tukar menukar barang dengan barang, atau mata uang dengan mata uang yang sama nilai kualitas, kuantitasnya harus sama, serta dilakukan secara tunai, misalnya emas yang kualitasnya 19 karat dengan kuantitas berat 50 gram tidak boleh ditukarkan dengan emas yang kualitasnya 24 karat dengan kuantitas 50 gram, demikian pula dengan mata uang, dan apabila jenisnya berbeda dari segi nilai kualitas, boleh dilakukan 26 Iman al-Syafi’iy, Al-Umm Juz III halaman 32 27 Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz VIII halaman 513 28 Lihat Wahbah Al-Zuhaily. 29 Lihat Subul Al-Salam, Juz II halaman 61. 15 dengan kuantitas yang berbeda dengan syarat dilakukan secara tunai. Sebab apabila dilakukan tidak secara tunai kedua jenis mata uang tersebut sangat mungkin nilai tukarnya akan berubah sewaktu-waktu, sehingga akan merugikan pihak lain. Kebolehan menjual belikan mata uang bukan untuk spekualisi, melainkan untuk menunjang bisnis dalam sektor real, terutama untuk kebutuhan bisnis ekspor impor. DAFTAR PUSTAKA : 1. Dr. Al-Saih, Ahkamul ‘Uqud wal Buyu’ fil Fiqh, Mesir Bairut Dar Ilmiyah 1998 2. Dr. Sami Hamud, Tathwirul A’mal Al-Mashrafiyah, Bairut Dar Al-Kutub, 1996 3. Yusif Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah, 1994. 4. Iman al-Syafi’iy, dalam Al-Umm, Bairut Dar Al-Fikr, 1987. 5. Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Dar Fikr T.th. 6. Al-Nabhani, Taqiyudin, Al-Nidzam Al-Iqtishadi Fi Al-Islam, Bairut: Dar Ummah, Cet VI, 2004. 7. Dan lain-lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kehidupan Masa Pra Aksara di Indonesia

Periodisasi zaman praaksara   Periodisasi zaman pra aksara dapat dibedakan berdasarkan geologi (ilmu yang mempelajari bebatuan)  ( Diambil d...