https://docs.google.com/document/d/10V-n-fEOtKGFzfU-QfMMis5nu8OMY_d2w-paCuLxgnc/edit
Korupsi yang terjadi di negara Indonesia sudah mengakar dan membudaya,sehingga meskipun penanganannya sudah mulai membuahkan hasil,masih saja terasa sangat lamban. Kehebatan praktik korupsi di negara kita ini,tidak diragukan lagi bahkan telah diakui oleh banyak kalangan. Jika kita melihat hasil survei tentang angka indeks persepsi korupsi di negara Indonesia, hasilnya selalu menempatkan Indonesia dalam kelompok negara-negara terkorup.
Banyaknya pengaduan kasus korupsi yang masuk ke meja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),juga sepertinya menunjukkan bahwa di negeri ini tiada hari tanpa korupsi.
Dari sekian banyak kasus korupsi yang berhasil diungkap,kita melihat bahwa para pelaku korupsi rata-rata adalah pejabat atau mantan pejabat dan orang-orang penting lainnya,baik yang berada di tingkat pusat maupun di daerah, yang notabene adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi dan mengerti hukum dan peraturan perundang-undangan.
Ketika media-media informasi ramai menyajikan materi tentang korupsi,masyarakat bawah hanya menjadi pendengar dan penonton. Siapapun yang tertangkap atau kasus apapun yang terungkap, tidak akan ada pengaruhnya bagi mereka. Mereka tetap harus berjuang keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sikap tidak perduli masyarakat ini,tentu saja sangat menghambat upaya pemerintah dan lembaga - lembaga terkait dalam memasyarakatkan gerakan anti korupsi. Untuk membuang sikap ini,diperlukan penyebarluasan informasi yang benar tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi dan sebisa mungkin mengajak masyarakat untuk ikut terlibat aktif didalamnya,antara lain dengan mengikuti lomba menulis tentang “Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi” ini.
Beberapa contoh kasus korupsi yang dinilai wajar dan lazim
Di negeri ini,sepertinya semua orang yang mempunyai pekerjaan apalagi bila pekerjaan itu terkait dengan pemerintah, bisa berpeluang menjadi seorang koruptor,baik dalam skala besar maupun kecil,tidak terkecuali di daerah saya. Dengan mudah saya bisa ambilkan contoh yang menurut saya termasuk dalam pengertian korupsi. Mungkin nilai nominalnya kecil,namun kejadian ini telah terjadi lebih dari lima tahun dan sampai sekarang masih tetap berlangsung. Jika diakumulasikan,jumlah nominal yang kecil ini pun sebenarnya bisa menjadi besar.
1. Ketika di pasar saya melihat petugas dinas pasar memungut uang retribuasi harian yang jumlahnya bervariasi yaitu tiga ratus rupiah per pedagang emperan/kaki lima dan tujuh ratus rupiah per kios/toko. Petugas memungut uangnya namun tidak secara otomatis memberikan karcis yang menjadi hak para pedagang. Tak sedikit diantara para pedagang yang sudah menyiapkan uang retribusi di ujung meja,dan ketika petugas datang untuk mengambilnya tanpa meninggalkan karcis retribusi,para pedagang hanya meliriknya dengan ujung mata. Hanya sebagian kecil dari pedagang yang menanyakan karcisnya,selebihnya para pedagang yang tentunya punya kesibukan sendiri,sudah maklum dengan kondisi semacam itu. Padahal kita semua tahu aturannya, setiap pedagang yang membayar retribusi berhak mendapatkan satu karcis bukti pembayaran. Kita juga tahu bahwa jumlah uang yang harus disetorkan oleh petugas dinas pasar tersebut ke kantor dinas pasar adalah sejumlah karcis retribusi yang terdistribusikan. Bisa kita perkirakan berapa banyak uang yang berhasil dikumpulkan oleh petugas namun tidak disetorkan dalam setiap harinya? Jika satu bulan atau satu tahun,berapa jumlahnya? Dan jika sudah terjadi selama bertahun-tahun tentu akan lebih banyak lagi jumlahnya,namun tetap tidak ada orang/pihak yang merasa dirugikan.
2. Kasus tukang parkir. Sekarang di lokasi strategis di mana pun,akan ada tukang parkir mangkal yang memakai seragam dinas perhubungan. Entah itu resmi petugas yang dipilih dan ditempatkan di sana oleh dinas perhubungan,ataupun petugas parkir biasa yang “diseragami” oleh oknum dinas perhubungan agar penampilannya lebih menyakinkan. Yang jelas, banyak para pengemudi yang membayar uang parkir namun tidak mendapatkan karcis sebagaimana mestinya. Jika satu kendaraan roda dua adalah seribu rupiah dan satu kendaraan roda empat dua ribu rupiah(tidak termasuk kendaraan besar dari para pedagang besar/distributor),dan jika dimisalkan dalam sehari masing-masing sepuluh kendaraan yang membayar uang parkir namun tidak diberikan karcisnya,ada sekitar tiga puluh ribu rupiah per hari uang yang “digelapkan” petugas parkir. Jika dalam satu bulan sekitar sembilan ratus ribu rupiah,dan jika dikalikan satu tahun atau beberapa tahun,jumlahnya tentu menjadi lumayan.Itu baru contoh dari satu orang petugas parkir. Jika di daerah kami ada sepuluh atau lebih petugas parkir,jumlahnya tentu akan menjadi tidak sedikit. Namun karena nilai nominal uang yang digelapkan sedikit juga tidak ada pihak yang merasa dirugikan,dan tidak ada barang bukti yang bisa menunjukkan bahwa itu termasuk perbuatan penggelapan uang,semua dianggap sebagai hal biasa dan wajar sehingga tidak ada seorang pun yang mempermasalahkannya.
3. Pembuatan izin usaha dan pembuatan e-ktp. Dalam mengurus izin usaha,banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi oleh si pengaju. Namun lucunya,ketika si pengaju terbentur kepada salah satu syarat yang tidak bisa dipenuhi, pihak terkait menawarkan solusi pemecahan masalah yang tidak kita duga sebelumnya. Misalnya dalam persyaratan harus melampirkan foto kopi IMB. Pada kenyataannya si pengaju tidak memilikinya,karena memang dia hanya berstatus sebagai penyewa. Pihak terkait akan menawarkan denda sejumlah nominal sekian sebagai pengganti lampiran foto kopi IMB. Jadi untuk apa mencantumkan banyak persyaratan jika bisa dilanggar dan disiasati?.
Masalah pembuatan e-ktp yang memakan waktu berbulan-bulan dari tanggal di surat panggilan,apalagi beredar isu pemerintah daerah akan menyelesaikannya menjelang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah mendatang,akan membuka peluang terjadinya penyuapan dan penyalahgunaan wewenang dan jabatan oleh pejabat pemerintah di daerah. Masyarakat yang memang sangat membutuhkan ktp dan tidak bisa menunggu terlalu lama,akan rela mengeluarkan biaya yang tidak semestinya,demi untuk mempercepat selesainya urusan pembuatan e-ktp. Dan masyarakat yang dengan sabar menunggu akan menghadapi cobaan lain misalnya dipaksa menjadi simpatisan salah satu partai politik.
4. Kasus lain yang terjadi sekitar 4 - 5 tahun lalu,tepatnya ketika saya akan mengikuti Pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah(CPNSD). Waktu itu saya baru akan membuat lamaran dan menyiapkan semua berkas yang diperlukan,ketika tetangga sebelah toko datang dan menanyakan kesibukan saya. Dia tahu saya akan ikut test CPNSD untuk formasi Penata Laporan Keuangan,sama persis dengan formasi yang akan dilamar keponakannya. Kemudian dia berkata (lebih kurang) begini :”tante,formasi itu hanya menerima 4 orang. 3 orang sudah terisi orang dalam,dan satunya sedang dalam pertimbangan kakak saya untuk anaknya yang nomor dua. Kakak masih pikir-pikir,soalnya 125 juta per orang,sedangkan kedua anaknya yang lain juga ikut test di formasi lain”. Sebenarnya saya kaget,namun saya mencoba menenangkan diri,tersenyum sambil berkata,”Ya ndak apa-apa,siapa tahu salah satu diantara empat orang itu mengundurkan diri karena sakit atau kecelakaan”.
Hari pelaksanaan test tiba. Saya senang bukan main,melihat soal yang keluar sama persis dengan soal-soal yang sudah saya pelajari dari internet. Saya perkirakan dari 160 soal yang diujikan,tak kurang dari 150 soal bisa saya jawab dengan benar. Ketika pengumuman hasil test,dan saya melihat nama keponakan tetangga toko ada di nomor urut 4,saya langsung berpikiran negatif terhadap pemerintah daerah. Sebegitu parahkah praktek Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme yang terjadi di daerah saya,sampai-sampai orang lain yang notabene rakyat biasa tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk menikmati hasil jerih payahnya?. Namun apa boleh buat,semua telah terjadi. Kalaupun kita bertindak sepihak dengan melaporkan keluarganya ke pihak berwenang atas dugaan penyuapan,bisa-bisa kita dituntut balik atas dalih pencemaran nama baik. Ya, kita memang tidak punya bukti,selain perkataan saudaranya yang terus-terang dan percaya diri merasa tidakan keluarganya yang melakukan penyuapan adalah tepat dan benar.
Pada saat itu,yang membuat saya bertanya-tanya adalah : apakah tidak ada audit dari pihak pemerintah kepada seluruh jajaran pegawainya tentang harta kekayaannya setidaknya di masa-masa istimewa seperti di musim penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil,di musim tender, atau di musim penerimaan siswa/siswi baru di sekolah-sekolah negeri? Tidakkah pemerintah atau lembaga terkait merasa aneh dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh para pejabat negara yang mudah berubah-ubah?Wajarkah kekayaan yang didapatnya jika berasal dari pendapatan murni atas pekerjaanya sebagai seorang pegawai/pejabat pemerintah? Sebandingkah kenaikan jumlah harta kekayaan yang mereka miliki sebelum dan setelah menjadi pejabat? Tolong telusuri lebih jauh tentang asal-mula keberadaan harta kekayaan para pegawai/pejabat negara ini Jika mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti kuat terkait kepemilikan harta kekayaannya,lebih baik negara menyitanya.
Para pejabat negara yang selama ini bebas menikmati fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya atau golongannya,semestinya dibatasi dengan peraturan perundang-undangan. Saya rasa,berhubung orang-orang yang jadi pejabat sekarang rata-rata sudah kaya,jadi mereka tidak lagi memerlukan fasilitas negara seperti rumah dinas ataupun kendaraan dinas. Sehingga kedua fasilitas itu bisa diminimalkan penyalurannya hanya bagi para pejabat yang benar-benar tidak atau belum memiliki dan memang membutuhkannya demi kelancaran tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pegawai/pejabat negara.
Jujur saja,ketika saya mengetahui,melihat, atau mendengar sendiri kasus-kasus seperti yang dicontohkan di atas, saya ingin sekali mengadukan kasusnya. Tetapi karena saya tidak tahu harus pergi kemana, jumlah uang yang digelapkan yang sedikit, tidak ada barang bukti ,dan juga sepertinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan ,menjadi alasan utama saya untuk tidak jadi “mengadukannya” dan memilih menyimpannya di dalam hati. Meski hati saya tidak bisa menerima, namun secara tidak langsung saya dipaksa untuk menerima kondisi semacam itu dengan lapang dada. Saya tidak bisa membayangkan,bagaimana jika kasus korupsi yang terjadi dalam jumlah besar dan melibatkan banyak pihak – pihak penting. Bagaimana perasaan orang-orang yang masih mempunyai hati nurani menghadapinya jika kejadiannya di depan mata? Apakah mereka akan bersikap diam saja? Atau mereka akan berpura-pura tidak melihat dan tidak tahu,padahal jelas-jelas praktek korupsi terjadi di depan mata?
Penutup dan Saran
Peran serta masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi telah diatur dalam Bab V Pasal 41 Undang - Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam Bab V Pasal 41 yang terdiri dari lima (5) ayat itu juga dijelaskan bagaimana bentuk perwujudan sekaligus hak dan tanggung jawab masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun tentu saja,jumlah anggota masyarakat yang mengetahui tentang aturan ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak mengetahuinya. Dan dari jumlah yang sedikit itu,mungkin hanya sebagian kecil saja yang ikut perduli dan mau melibatkan dirinya dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Perlu kerja sama dan kerja keras dari berbagai pihak untuk bisa memasyarakatkan gerakan anti korupsi. Jika gerakan anti korupsi sudah memasyarakat,masyarakat luas akan lebih mudah mengenali dan menilai tindakan korupsi dengan sendirinya. Dan jika pemerintah dan lembaga terkait membuka pintu pengaduan korupsi selebar-lebarnya,melalui proses yang tidak menyulitkan dan tidak menakutkan,tentu akan dengan senang hati masyarakat berbondong-bondong mengadukan “temuannya”. Tinggal nanti bagaimana sikap pemerintah dan lembaga terkait menindaklanjutinya. Bagaimanapun tindak lanjutnya nanti,semua akan berakibat terhadap persepsi masyarakat tentang keseriusan pemerintah dan lembaga terkait dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sudah semestinya seluruh lapisan masyarakat ikut andil dan berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di negara ini. Mari kita bersama-sama memulainya dari diri kita sendiri,keluarga kita,orang-orang terdekat kita,dan lingkungan di mana pun kita berada,untuk membiasakan diri bersikap jujur dan menjauhkan diri dari celah yang bisa mendorong kita berbuat korupsi bagaimanapun jenis dan bentuknya. Kita semua harus bekerja keras,menciptakan budaya yang kondusif menentang korupsi. Sekecil apapun korupsi,korupsi tetaplah dilarang baik oleh negara maupun oleh agama. Hukuman yang diberikan oleh negara mungkin tidaklah sebanding dengan apa yang telah dilakukan oleh para koruptor. Namun ingatlah,Pengadilan Tuhan di hari perhitungan nanti adalah sebaik-baiknya tempat kita diadili. Jadi,takutlah akan pengadilan di hari ahir. Dan mulai sekarang, ayo kita katakan : “Tidak untuk Korupsi”.