Senin, 23 Desember 2013



Pertanyaan Dari:
Yoeny Wahyu Hidayatie, SE., KTAM 853174, Nasyi’ah di Harjo Barat Tersono Batang
(disidangkan pada Jum’at, 22 Shaffar 1429 H / 29 Februari 2008 M)


Pertanyaan:

Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Seorang istri di dalam keluarga memang berkewajiban mengurus suami dan anaknya. Teman saya sebetulnya aktivis tetapi selalu terbentur dengan kepentingan suaminya, ia sangat patuh dan perhatian kepada suaminya. Ia selalu ingin menyambut suaminya ketika pulang kerja. Teman tadi sampai tidak mau shalat jama’ah di mushalla karena menunggu suaminya pulang. Sikap teman tadi sesungguhnya sangat bagus dan saya acungi jempol. Tetapi andaikan semua anggota dan khususnya Pimpinan Nasyiatul Aisyiyah seperti itu, pastilah kegiatan organisasi tidak berjalan. Mohon penjelasan, bagaimana sebetulnya posisi istri dalam permasalahan ini.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Menurut agama Islam, pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. an-Nahl (16): 97]

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. at-Taubah (9): 71]

Sungguhpun demikian, dalam hal hubungan antara suami dan isteri, satu dengan yang lain masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sendiri-sendiri. Berikut ini kami uraikan jawaban atas pertanyaan yang saudara sampaikan.

I.        Kewajiban Suami dan Istri dalam Rumah Tangga
  1. Kewajiban Suami terhadap Istri
1.      Suami wajib menjaga, melindungi dan memimpin isterinya. Allah berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ...

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [QS. an-Nisa’ (4): 34]

2.      Bergaul dengan cara yang  baik  terhadap isteri. Allah berfirman:

... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... 

Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” [QS. an-Nisa’ (4): 19]
Dalam hadits dijelaskan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا. [رواه الترمذي]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Orang mukmin yang lebih sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kamu adalah orang yang terbaik terhadap isterinya.” [HR. at-Tirmidzi]

3.      Memberi nafkah kepada isteri. Allah berfirman:

... وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” [QS. al-Baqarah (2): 233]

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ ...

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” [QS. ath-Thalaq (65): 6]

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا.


Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. ath-Thalaq (65): 6]

  1. Kewajiban Isteri terhadap Suami
Dalam Putusan Tarjih hasil Muktamar Tarjih ke XX di Garut tahun 1976 tentang Adabul Mar’ah fil Islam, antara lain diputuskan:
1.      Dalam pergaulan sehari-hari, wanita yang menjadi isteri harus bersikap patuh, taat serta senantiasa hormat terhadap suaminya. Hal itu supaya benar-benar dilaksanakan dengan tulus dan ikhlas, baik di hadapan suami maupun di kala suami berada di tempat yang jauh.
2.      Senantiasa bersikap sopan santun, bermanis muka, ramah tamah, dengan menampakkan kecintaan dan kepercayaan yang penuh terhadap suami.
3.      Seorang isteri hendaklah senantiasa berusaha untuk memiliki gaya dan daya penarik serta tambatan hati bagi suaminya. Isteri supaya menjadi pelipur lara di kala suami menghadapi kesusahan, menjadi penenang hatinya di kala gelisah, dan menimbulkan harapan di saat suami berputus asa. Sabda Nabi:

خَيْرُ النِّسَاءِ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ. [رواه الطبرنى فى الكبير عن عبد الله بن سلام]

Artinya: “Sebaik-baik isteri adalah yang dapat menyenangkan hatimu bila kamu melihatnya, taat kepadamu bila kamu suruh, serta dapat menjaga kehormatan dirinya dan hartamu, di kala kamu sedang tidak di rumah.” [HR. ath-Thabrani di dalam al-Kabir dari Abdullah Ibnu Salam]

4.      Bertanggung jawab di rumah suaminya, untuk kebahagiaan seluruh keluarga. Allah berfirman:

... فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ ...

Artinya: “... Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) ...” [QS. an- Nisa’ (4): 34]

... وَاْلمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ... [رواه البخاري عن ابن عمر]

Artinya: “Dan istri bertanggung jawab di rumah suaminya dan ia akan diminta pertanggungjawabannya.” [HR. al-Bukhari dari Ibnu ’Umar]

5.      Mengatur rumah tangga, bersolek dan berhias dalam ukuran yang wajar dan pantas, yakni tidak berlebih-lebihan merupakan kewajiban bagi setiap wanita Islam. Sedang bagi seorang isteri, bersolek dan merias diri untuk suaminya dianjurkan oleh Islam.
Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى ... 

Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu.” [QS. al-Ahzab (33): 33]
Sikap tabarruj adalah sikap keterlaluan dalam memperlihatkan pakaian dan perhiasan, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyyah.
Allah berfirman:

... وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ... 

Artinya: “... dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” [QS. an-Nur (21) :31]

  1. Kewajiban Istri terhadap Anak.
Menurut Syari’at Islam, anak adalah amanah Allah (kepada Ibu dan Bapaknya). Sabda Nabi saw:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ... [رواه البخاري عن أبي هريرة]

Artinya: “Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan anak-anak itu menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” [HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah]

Setiap amanah Allah harus dijaga dan dipelihara sedemikian rupa sesuai dengan ajaran Islam, sebagai sebuah kewajiban kepada kedua orang tua. Demikian pula terhadap pendidikan anak menjadi tanggung jawab kedua orang tua, sebagaimana tersirat dalam firman Allah:

... وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.

Artinya: “... dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya,  sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” [QS. al-Isra’ (17): 24]
Oleh karena itu, suami dan istri mempunyai kewajiban yang sama dalam pengasuhan dan pendidikan anak sebagai amanah Allah yang diberikan kepada mereka berdua.

  1. Kewajiban Istri terhadap Orang Tua.
Menghormati orang tua sendiri dan orang tua suami adalah kewajiban utama yang dipikulkan kepda setiap wanita Islam. Allah berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا. 

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemelharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” [QS. al-Isra’ (17): 23-24]

II.     Istri shalat berjama’ah di masjid.
Berikut ini akan kami tuliskan beberapa hadits yang berkaitan dengan perempuan pergi ke masjid.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ. [رواه الجماعة إلا ابن ماجه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu’Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila isteri-isterimu minta ijin kepadamu pergi ke masjid, maka ijinkanlah.” [HR. al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَمْنَعُوا النِّسَاءَ مِنْ الْخُرُوجِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِاللَّيْلِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita keluar pergi ke masjid di waktu malam.” [HR. Ahmad]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَمْنَعُوا النِّسَاءَ أَنْ يَخْرُجْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ. [رواه أحمد وأبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ’Umar, dari Nabi saw, beliau besabda: Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita keluar pergi ke masjid, sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” [HR. Ahmad dan Abu Daud]

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ. [رواه أحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ummu Salamah, dari Rasulullah saw, bahwa Nabi saw bersabda: Sebaik-baik masjid bagi perempuan ialah ruang dalam dari rumah mereka.” [HR. Ahmad]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلاَتٍ. [رواه أحمد وأبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Janganlah kamu menghalang-halangi perempuan-perempuan ke masjid-masjid Allah. Dan hendaklah mereka keluar tanpa dengan bau-bau yang harum.” [HR. Ahmad dan Abu Daud]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ. [رواه مسلم وأبوا دود والنسائى]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Siapa saja perempuan yang memakai dupa, maka janganlah menyertai kami dalam shalat ’isya’.” [HR. Muslim, Abu Daud dan an-Nasa’i]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مِنْ النِّسَاءِ مَا رَأَيْنَا لَمَنَعَهُنَّ مِنْ الْمَسَاجِدِ كَمَا مَنَعَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ نِسَاءَهَا. [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari ’Aisyah, ia berkata: Andaikata Rasulullah saw menyaksikan para wanita sebagaimana yang kita saksikan, pastilah beliau akan melarang wanita pergi ke masjid, sebagaimana Bani Israil melarang perempuan-perempuannya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dari hadis-hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa perempuan-perempuan lebih baik shalat di rumah apabila dengan perginya ke masjid berkemungkinan besar akan menimbulkan fitnah. Untuk itu dituntunkan agar perempuan yang akan pergi ke masjid hendaknya berpakaian yang sewajarnya dan tidak menggunakan wangi-wangian secara berlebih-lebihan, sehingga menutup kemungkinan timbulnya fitnah. Dalam keadaan yang demikian, perempuan shalat di masjid berjama’ah bersama kaum lelaki adalah lebih utama. Dalam hal yang seperti ini wajib terhadap lelaki (suami) memberi ijin kepada perempuan (isterinya) yang akan menunaikan shalat berjama’ah di masjid. (Periksa asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz II, 1994, hal. 162).

III.  Isteri berorganisasi dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid bersumber pada al Qur’an dan as Sunnah; dengan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Pelaksanaan tujuan tersebut didorong oleh firman Allah:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali Imran (3): 104]

Untuk mewujudkan tujuan tersebut berbagai amal usaha telah dilaksanakan oleh Muhammadiyah, misalnya dalam bidang dakwah telah dilaksanakan kajian-kajian ajaran Islam dan tabligh ke masyarakat; di bidang pendidikan, telah diselenggarakan pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi; di bidang kesehatan, telah didirikan poliklinik dan rumah sakit; di bidang ekonomi telah didirikan BMT dan BPRS serta amal usaha di bidang lainnya.

Amar ma’ruf nahi munkar dengan berbagai amal usaha tersebut, merupakan sebagian dari berbagai bentuk ajaran Agama Islam yang dikategorikan sebagai perbuatan yang dihukumi fardlu kifayah. Dengan demikian mengambil bagian dalam kegiatan persyarikatan Muhammadiyah dapat dikategorikan melaksanakan ajaran Agama Islam dalam kategori fardlu kifayah. Perbuatan ini menjadi sangat penting, karena jika tidak seorang pun yang mau aktif dalam gerakan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, maka menjadi berdosa semua umat Islam di tempat gerakan dakwah itu berada.

Dengan demikian hendaknya menjadi perhatian bagi setiap umat Islam setempat, baik laki-laki maupun perempuan (termasuk yang telah bersuami dan beristeri) untuk mengambil bagian (berpartisipasi) dalam gerakan da’wah ini. Bentuk partisipasi dapat diwujudkan dengan langsung menjadi salah seorang pimpinan atau pengurus, atau memberi dukungan baik moril maupun materiil kepada pimpinan atau pengurus agar kegiatan amar ma’ruf nahi munkar dapat berhasil secara maksimal.

Dalam tataran pelaksanaan, tidak jarang menghadapi kendala yang berupa benturan dengan tugas atau pekerjaan-pekerjaan pribadi yang merupakan kewajibannya, seperti tugas mencari nafkah, belajar, termasuk di dalamnya adalah tugas seorang isteri terhadap suaminya, dan lain-lain. Menghadapi benturan semacam ini hendaklah dapat disiasati sedemikian rupa tanpa mengorbankan satu kepentingan demi kepentingan yang lain, atau setidak-tidaknya meminimalisir kemungkinan terjadi pengorbanan salah satu kepentingan yakni dengan memilih pengorbanan yang terkecil atau dengan kata lain mendahulukan kegiatan yang mendatangkan kemanfaatan yang lebih besar. Dalam Qa’idah Fiqhiyyah disebutkan:

يُخْتَارُ أَهْوَنُ الشَّرَّيْنِ
Artinya: “Dipilih paling ringan dari dua kejelekan.”

إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا.

Artinya: “Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat (kerusakan), diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya di antara keduanya itu, dengan dikerjakan yang lebih ringan di antara keduanya.”

Menjawab pertanyaan saudara, tentang posisi isteri dalam menghadapi benturan dua kepentingan yakni antara kepentingan organisasi dan kepentingan keluarga, dapat disarankan:

Pertama, usahakan dua kepentingan itu tetap berjalan tanpa mengorbankan salah satu kepentingan. Misalnya jika kegiatan organisasi yang sifatnya rutin bersamaan dengan kepentingan keluarga yang juga sifatnya rutin, hendaklah kegiatan organisasi digeser sehingga tidak bersamaan waktu dengan kegiatan keluarga.

Kedua, jika kegiatan organisasi bersifat insidental --karena ada kepentingan yang lebih besar atau mendadak-- diprioritaskan kepentingan organisasi dari pada kepentingan keluarga, sepanjang kepentingan keluarga tidak termasuk kepentingan yang pokok, misalnya dengan menggeser waktu bagi kepentingan keluarga. Dalam hal ini hendaknya isteri minta ijin atau memberi tahu kepada suami. Dalam pada itu suami hendaknya memahami kepentingan organisasi (umat) adalah merupakan tuntutan yang dihukumi dengan fardlu kifayah yang akan mengakibatkan berdosa kepada umat Islam setempat --termasuk dirinya-- jika tidak ada yang melaksanakan tugas tersebut. Suami yang shalih yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab umat sebagai kewajiban fardlu kifayah, --dengan baik sangka-- suami akan dengan ikhlas mengijinkan bahkan memberi dorongan kepada isterinya.

Ketiga, jika kepentingan keluarga bersifat insidental, --karena ada kepentingan yang lebih besar atau yang mendadak-- diprioritaskan dari pada kegiatan organisasi yang sifatnya rutin.

Keempat, jika benturan itu antara kepentingan keluarga dan kepentingan organisasi yang keduanya bersifat insidental, maka kembalikan kepada qa’idah fiqhiyyah di atas, yakni dengan memprioritaskan melaksanakan kegiatan yang lebih kecil kerugiannya atau dengan kata lain dengan melaksanakan yang lebih besar manfaatnya.

Yang dikemukakan di sini adalah sekedar contoh, kami yakin masih banyak kiat lain yang dapat dipilih untuk mecari solusi dari problem ini.

Sebagai penutup, perlu kami informasikan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah telah sejak lama menerbitkan buku Adabul Mar’ah fil Islam, yang merupakan hasil Muktamar Tarjih ke XX di Garut tahun 1976. Oleh sebab itu, sebagai sarana menambah wawasan dan meningkatkan ilmu, kami sarankan saudara untuk membaca buku tersebut.

Wallahu a’lam bish shawab. *dw) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kehidupan Masa Pra Aksara di Indonesia

Periodisasi zaman praaksara   Periodisasi zaman pra aksara dapat dibedakan berdasarkan geologi (ilmu yang mempelajari bebatuan)  ( Diambil d...