Pertanyaan:
1. Bagaimana hukumnya imam dalam salat jamaah membaca al-Quran dalam satu surat terbalik urutannya? Dalam rakaat pertama membaca:
آمَنَ الرَسُوْلُ بِمَا أُنْزِلَ sampai denganفَانْصُرْنَا عَلَي اْلقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ [الْبَقَرَةُ : 285-286]
Pada rakaat kedua membaca:
وَ إِذاَ سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي sampai denganلَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ [البقرة: 186]
2. Dalam rubrik khutbah Jum’at yang dimuat SM banyak dijumpai bacaan salawat:
وَ الصَّلاَةُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bolehkah bacaan salawat seperti itu dibaca dalam salat ketika duduk tahiyat?
3. Dalam SM no 23 tahun 2009 khutbah yang disampaikan Kusun Dahari dituliskan hadis:
إِذَا
مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ
إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Hadis itu ditafsirkan dengan ayat al-Quran surat an-Nisa ayat 9 :
وَلْيَخْشَ
الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا
عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Pertanyaannya; Apakah boleh hadis Nabi diperjelas dengan
ayat al-Quran seperti termuat juga dalam khutbah Jum’at SM no. 4 tahun
2010? Penulis pernah mendengat pendapat yang mengatakan haram hal itu.
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara sampaikan.
Kami telah merangkum pertanyaan-pertanyaan saudara menjadi tiga hal.
Adapun jawaban untuk pertanyaan saudara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pada
dasarnya sunnah Rasulullah saw dalam membaca surat al-Qur’an ketika
menjadi imam sungguh sangat berbeda dengan yang selama ini sudah menjadi
kebiasaan di tengah umat Islam. Perbedaan tersebut terdapat dalam
beberapa hal. Pertama, Rasulullah saw jarang sekali membaca ayat-ayat
al-Quran yang sangat pendek. Ketika salat subuh misalnya, beliau biasa
membaca surat Qaf pada rakaat pertama dan surat ar-Rum pada rakaat kedua. Beliau juga terkadang membaca surat at-Takwir untuk rakaat pertama dan al-Zilzalah untuk rakaat kedua (HR Ahmad). Hanya dalam kondisi perjalanan (safar) saja beliau membaca surat pendek seperti al-Falaq dan an-Nas. Dalam salat zuhur demikian juga. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim menerangkan hal tersebut:
عَنْ
أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ لَقَدْ كَانَتْ صَلاَةُ الظُّهْرِ
تُقَامُ فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقْضِى حَاجَتَهُ ثُمَّ
يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يَأْتِى وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى
الرَّكْعَةِ الأُولَى مِمَّا يُطَوِّلُهَا [رواه مسلم]
Artinya: “Dari Abu Said al-Khudriy, ia berkata: suatu ketika salat zuhur ditunaikan, lalu seseorang pergi ke (perkampungan) Baqi’ dan ia melaksanakan aktivitasnya (di sana), kemudian ia berwudlu lalu mendatangi jamaah salat dan Rasulullah Saw. (yang menjadi imam) masih berada pada rakaat pertama karena saking panjangnya apa yang beliau baca”. [HR. Muslim]
Perbedaan kedua adalah Rasulullah saw tidak pernah
membaca surat secara sepotong-sepotong. Dalam keterangan hadis-hadis
ditemukan bahwa Rasulullah saw selalu membaca ayat secara sempurna, baik
diselesaikan dalam satu rakaat, ataupun dibagi ke dalam dua rakaat.
Dalam salat Maghrib misalnya, beliau membaca surat al-A’raf dalam dua rakaat, atau ath-Thur dan al-Mursalat atau membaca al-Mu’awwidzatain (al-Falaq dan al-Nas) [Ibnu al-Qayyim, Zadul Ma’ad, vol. I, hal. 205, Sayyid Sabiq, vol. I, hal. 183].
Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw
tersebut bukanlah suatu kewajiban yang juga harus dilakukan oleh
umatnya. Dalam kaedah ushul fikih disebutkan:
مُجَرَّدُ الْفِعْلِ لَا يُفِيْدُ الْوُجُوْبَ
Artinya: “Perbuatan Nabi semata (yang tidak diiringi oleh indikasi lain) tidak menunjukkan kewajiban.”
Yang diperintahkan dan menjadi kewajiban hanyalah
membaca suratnya saja, bukan panjangnya bacaan atau kesesuaian dengan
contoh dari Nabi saw. Dalam al-Quran disebutkan:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ [المزمّل، 73: 20]
Artinya: “…karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an.” [QS. al-Muzzammil (73): 20]
Namun, bagi para imam yang ingin menegakkan sunnah
Rasulullah saw serta dengan mempertimbangkan kenyamanan jamaah dengan
bacaan panjang, maka tentu mengikuti sunnah Rasulullah saw adalah lebih
utama. Berkenaan dengan membaca ayat tidak berdasarkan urutan dalam
rakaat pertama dan rakaat kedua, kami berpandangan hal tersebut tidaklah
dilarang, karena tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Namun
kami berpandangan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang mafdhul-tidak utama (kebalikan dari afdhal) karena tidak sesuai dengan sunah Nabi saw. Dengan demikian kami berpandangan sebaiknya tidak dilakukan.
2. Shalat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifiy
(aturan dan tatacaranya harus mengikuti praktek Rasulullah saw).
Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan aktivitas
apapun yang tidak dicontohkan Rasulullah saw dalam salat. Dalam sebuah
hadis Rasulullah saw telah bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى [رَوَاهُ الْبُخَارِي]
Artinya: “Salatlah sebagaimana kamu sekalian melihat aku salat.” [HR. al-Bukhari]
Sementara itu, tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah memerintahkan untuk membaca salawat kepadanya dalam salat dengan menambahkan kata “sayyidina”. Hadis-hadis Nabi saw yang menerangkan bacaan salawat dalam salat antara lain adalah sebagai berikut:
عن
أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قال قُلْنَا يا رَسُولَ اللَّهِ هذا السَّلَامُ
عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ
مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ كما صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كما بَارَكْتَ عَلىَ
إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إبراهِيْمَ [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudriy, ia
berkata: kami mengatakan pada Rasulullah: Ini adalah cara mengucapkan
salam kepadamu (dalam salat), tapi bagaimana cara kami membaca salawat
kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah, Allahumma shalli ‘ala
Muhammadin abdika wa rasulika kama shallayta ‘ala Ibrahim wa barik ‘ala
Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim”. [HR al-Bukhari]
عن
كَعْبِ بن عُجْرَةَ قال قُلْنَا أو قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَمَرْتَنَا أَنْ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ وَأَنْ نُسَلِّمَ عَلَيْكَ فَأَمَّا
السَّلَامُ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قال قُولُوا
اللهم صَلِّ على مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كما صَلَّيْتَ على إبراهيم
وَبَارِكْ على مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كما بَارَكْتَ على آلِ إبراهيم
إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah ia
berkata: Kami berkata atau mereka berkata: Wahai Rasulullah, engkau
menyuruh kami bersalawat kepadamu dan membaca salam kepadamu. Adapun
(bacaan) salam kami telah mengetahuinya, tetapi bagaimana cara kami
bersalawat kepadamu? Rasulullah saw bersabda: Katakanlah: “Allahuma
shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama shallayta ‘ala Ibrahim wa
barik ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ‘ala ali Ibrahim innaka
hamidun majid”.” [HR Muslim]
عَنْ
كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ عَنِ النَّبِيِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ فِي الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ
وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ
إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ [رَوَاهُ الشَافِعِي فِي كِتَابِ الْأُمِّ]
Artinya: “Dari Ka’ab bin Ujrah dari Nabi saw, bahwasanya ketika salat ia mengucapkan: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama shallayta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim innaka hamidun majid”. [HR asy-Syafii di Kitab al-Umm]
Dengan demikian, menambahkan kata “sayyidina” dalam
salat adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya sama sekali dan oleh
karenanya tidak perlu dilakukan.
3. Al-Qur’an
dan Hadis adalah dua pusaka yang ditinggalkan untuk umat Islam selaku
umat yang hidup di akhir zaman. Sebagai sumber hukum, hadis terletak
pada urutan ke dua setelah al-Qur’an. Posisi hadis terhadap al-Qur’an
sendiri adalah sebagai mubayyin (menjelaskan) hal-hal yang umum, muakkid (memperkuat) apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan mutsbit (menetapkan) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya. Namun, keduanya tetaplah satu kesatuan yang berfungsi sebagai huda
(petunjuk) bagi kehidupan manusia. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa
ketaatan terhadap Allah berada dalam satu paket dengan ketaatan pada
Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء، 4: 59]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [QS. an-Nisa' (4): 59]
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw juga bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ [رواه مالك]
Artinya: “Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara, selama-lamanya tidak akan tersesat jika kamu sekalian senantiasa berpegang kepada keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” [HR. Malik]
Dalam permasalahan yang saudara tanyakan, hadis tentang tiga peninggalan yang tidak akan putus pahalanya memiliki kesamaan munasabah
(konteks) dengan ayat al-Qur’an surat al-Nisa ayat 9. Dalam khazanah
keilmuan Islam, penjelasan dengan metode seperti itu disebut dengan syarh bil-matsur (penjelasan dengan menggunakan nash) selain metode lainnya yang disebut syarh bil-‘aql (penjelasan dengan akal).
Para ulama juga banyak yang melakukan hal tersebut di
dalam karya-karya mereka. Saudara bisa mengeceknya misalnya ke kitab
hadis Arbain Nawawiyah karya Imam an-Nawawi. Hadis-hadis yang termuat dalam kitab tersebut telah banyak di-syarah
(dijelaskan) oleh para ulama dan juga telah banyak diterjemahkan ke
bahasa Indonesia. Misalnya, pada hadis pertama tentang niat, para ulama
yang menjelaskan hadis ini biasanya menghubungkannya dengan ayat
al-Qur’an surat al-Bayyinah ayat 5 dan beberapa ayat lainnya.
Berangkat dari keterangan tersebut, maka menjelaskan
hadis dengan ayat al-Quran adalah satu hal yang dibolehkan. Demikian
jawaban kami. Semoga Allah selalu menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita.
Wallahu A’lam. *M-Rf)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber dari :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar