Muhammadiyah Tidak Bemadzhab dan Masalah Qunut
1. Menjawab pertanyaan tentang, Mengapa Muhammadiyah tidak bermadzhab?, ada baiknya kami paparkan sedikit isi dari salah satu di antara pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih yang berbunyi “Tidak
mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang
sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang
dipandang kuat”.
Dari
sana dapat difahami bahwa Muhammadiyah memang tidak terikat kepada
salah satu di antara madzhab-madzhab tertentu akan tetapi juga bukan
berarti Muhammadiyah anti dengan madzhab, kita tidak meragukan kualitas
keilmuan para imam-imam madzhab, namun bagaimana pun juga
pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak
sebagaimana kebenaran al-Quran dan as-Sunnah ash-Shahihah.
Pendapat-pendapat para imam tersebut sangat erat kaitannya dengan
kondisi pada masa mereka hidup, yang tentunya akan terdapat perbedaan
dan juga akan ada hal-hal yang kurang relevan lagi dengan masa kita
sekarang. Apa yang dilakukan Muhammadiyah -melaksanakan agama bersumber
pada al-Qur’an dan as-Sunnah - ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
عَنْ
مَالِكٍ بْنِ أَنَسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ
بِهِمَا : كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ. [رواه مالك في الموطأ]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: Aku telah
meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu
selama berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya”. [Diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Muwattha’].
Dan juga apa yang dikatakan oleh salah satu Imam madzhab, yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal yang berbunyi :
لاَ تَقَلَّدْنِي وَلاَ تَقَلَّدْ مَالِكًا وَلاَ الشَّافِعِي وَلاَ اْلأَوْزَاعِي وَلاَ الثَّوْرِي وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا .[ابن القيم في إعلام الموقعين]
Artinya: “Janganlah
engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam Syafi’i,
Imam Auza’i dan Imam ats-Tsauri. Namun ambillah (ikutilah) darimana
mereka (para Imam itu) mengambil (yaitu al-Quran dan as-Sunnah)”.
Singkatnya,
tidak mengikuti pada madzhab-madzhab tertentu bukan berarti tidak
menghormati pendapat para imam fuqaha, namun hal ini justru langkah
untuk menghormati mereka karena mengikuti metode dan jalan hidup mereka
serta melaksanakan pesan-pesan mereka agar tidak bertaqlid. Jadi
sebenarnya hal penting yang perlu diikuti adalah menggali pandapat itu
dari sumber pengambilan mereka yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw
yang shahih yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
2. Permasalahan qunut
sebenarnya telah dijawab pada keputusan Muktamar Tarjih Wiradesa dan
sudah termaktub dalam buku Himpunan Putusan Tarjih hal. 366-367, dan
telah dijawab oleh Tim PP. Muhammadiyah Majlis Tarjih dalam buku Tanya
Jawab Agama Jilid 2.
Pengertian qunut secara definitif adalah tunduk pada Allah dengan penuh kebaktian dan juga bisa berarti tulul qiyam (طُولُ اْلقِيَامِ)
atau berdiri lama untuk membaca dan berdoa di dalam shalat sesuai
dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan ini termasuk ada
tuntutannya (masyru’), berdasarkan hadis Nabi saw:
عَنْ
جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ اْلقُنُوتِ. [رواه مسلم وأحممد وابن ماجه
والترمذى وصححه]
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: Shalat yang paling utama adalah berdiri lama (untuk membaca doa qunut).” [HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi].
Adapun qunut diartikan dengan arti khusus yakni berdiri lama ketika i’tidal dan membaca doa: Allahummahdiny fiman hadait …
dan seterusnya di waktu shalat Subuh hukumnya diperselisihkan ulama, di
samping doa tersebut juga sebagai doa qunut witir berdasarkan hadis:
وَعَنْ
الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ: عَلَّمَنِي رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ
الْوِتْرِ: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ
عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا
أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّك تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى
عَلَيْكَ، إنَّهُ لاَ يَذِلُّ مِنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا
وَتَعَالَيْتَ. [رَوَاهُ الْخَمْسَة]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Hasan bin Ali, ia berkata: Rasulullah saw telah mengajarkan
kepadaku tentang kalimat-kalimat yang aku baca ketika melakukan qunut
witir: Allahumma-hdini fiman hadait, wa’afini fiman ‘afait,
watawallani fiman tawallait wabarikli fima a’thaita wa qini syarra ma
qadzaita fainnaka taqdzi wala yuqdza ‘alaika innahu la yadzillu man
wallaita tabarakta rabbana wa ta’alaita”. (HR. lima ahli hadis)
Majelis
Tarjih memilih untuk tidak melakukan doa qunut karena melihat
hadis-hadis tentang qunut Subuh dinilai lemah dan banyak diperselisihkan
oleh para ulama. Di samping itu terdapat hadist yang menguatkan tidak
adanya qunut Subuh. Dalam riwayat beberapa imam disebutkan sebagai
berikut:
مَا
رَوَاهُ الْخَطِيبُ مِنْ طَرِيقِ قَيْسِ بْنِ الرَّبِيعِ عَنْ عَاصِمِ
بْنِ سُلَيْمَانَ، قُلْنَا لِأَنَسٍ: إنَّ قَوْمًا يَزْعُمُونَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِي
الْفَجْرِ فَقَالَ: كَذَبُوا إنَّمَا قَنَتَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُو
عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْمُشْرِكِينَ.
Artinya: “Khatib
meriwayatkan dari jalan Qais bin Rabi’ dari Ashim bin Sulaiman, kami
berkata kepada Anas: Sesungguhnya suatu kaum menganggap Nabi saw itu
tidak putus-putus berqunut di (shalat) subuh, lalu Anas berkata: Mereka
telah berdusta, karena beliau tidak qunut melainkan satu bulan, yang
mendoakan kecelakaan satu kabilah dari kabilah-kabilah kaum musyrikin.” [HR. al-Khatib]
Begitu
pula doa qunut witir yang dibaca sesudah i’tidal sebelum sujud pada
rakaat terakhir di malam shalat witir baik dalam bulan Ramadan maupun
dipertengahannya, tidak disyariatkan. Karena itu tidak perlu untuk diamalkan. Dalil-dalil
yang menyatakan adanya doa qunut seperti riwayat Abu Dawud,
at-Tirmidzi, riwayat an-Nasa’i, riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Majah
dipandang kurang kuat karena ada perawi-perawi yang dipandang dhaif.
Adapun
yang ada tuntutannya itu ialah qunut NAZILAH yakni dilakukan setiap
shalat selama satu bulan di kala kaum muslimin menderita kesusahan dan
tidak hanya dikhususkan untuk shalat tertentu saja. Dan ini berdasarkan
hadis Nabi saw bahwa beliau pernah melakukannnya selama sebulan kemudian
meninggalkannya setelah turun peringatan Allah SWT.
قَالَ
اْلبُخَارِى قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلاَنَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى رِجَالٍ مِنَ اْلمُشْرِكِينَ
يُسَمِّيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى (لَيْسَ لَكَ
مِنَ اْلأَمْرِ شَيْئٌ) الأ ية – (ال عمران)
Artinya: “Berkata
al-Bukhari: Berkata Muhammad bin Ajlan dari Nafi’, dari Umar, katanya:
Pernah Rasulullah saw mengutuk orang-orang musyrik dengan menyebut
nama-nama mereka sampai Allah menurunkan ayat 127 surah Ali Imran: Laisa laka minal-amri syaiun (tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu).”
Pemahaman yang dapat diambil dari riwayat tersebut ialah:
a. Bahwa QUNUT NAZILAH tidak lagi boleh diamalkan.
b. Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata-kata kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan.
Wallahu a’lam bish-shawab. putm*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar