Minggu, 05 Januari 2014


Hukum MLM Dalam Pandangan Islam 

 

Multilevel marketing – secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.

Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya.

Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) —ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor— kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.

Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) —sebagaimana istilah mereka yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.

Fakta Umum Multilevel Marketing

Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing —sebagai bisnis pemasaran— tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold Quest, dll. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, —istilah lainnya sponsor, promotor— namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran).

Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi: (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang telah dia lakukan— bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.

Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.

Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar

Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran).
2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.
Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis Saw, antara lain, sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan:
“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”*1)
Dalam hal ini, asy-Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:
Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.”*2)
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.
2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:
“Rasululllah Saw telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*3)
Hadits yang senada dikemukan oleh at-Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:
“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*4)
Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan).
3. Hadits Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
“Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.”*5)
Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.*6)
Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz naha (melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.

Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai:
Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.*7)

Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan: “Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta”, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.

Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara: zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya bathil.

Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:
“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah Saw keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah’.”* 
Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:

”Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.”*9)
Ulama’ penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:
“Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an)— jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.”*10)

Dari batasan-batasn tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.

Hukum Dua Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM

Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain— disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.
2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk –meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).
3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.

Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran terhadap pemakelaran). Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.

Kesimpulan

Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya —apakah halal ataukah haram— maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.

Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.

Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.

Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?! Dari Pengalaman Penulis Sendiri,, hampir dipastiakan tdk ada MLM yang demikian.


Zainal Abidin Al-Floresi
Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PCM Ngronggot Nganjuk

 


Sejarah Masjid Yang Pertama Kali Dibangun Rasulullah SAW 


Rasulullah SAW meletakkan batu pertama Masjid Quba tepat di kiblatnya.
Semua masjid yang berada di Makkah, Madinah, dan Palestina selalu istimewa bagi umat Islam. Masjid-masjid ini punya nilai yang lekat dengan sejarah peradaban Islam. Begitupun dengan masjid Quba. 

Menilik dari sejarahnya, Masjid Quba punya nilai historis yang sangat tinggi.  Masjid ini adalah masjid pertama yang dibangun Rasulullah SAW. 

Masjid Quba dibangun pada awal peradaban Islam. Tepatnya, 8 Rabiul Awal pada 1 Hijriyah. Lokasinya berada di sebelah tenggara Kota Madinah, lima kilometer di luarnya.

Dulu, masjid ini dibangun dengan bahan yang sangat sederhana. Seiring berjalannya waktu, renovasi banyak dilakukan Kerajaan Arab Saudi. 

Masjid ini juga mengalami perluasan. Dalam buku berjudul Sejarah Madinah Munawwarah yang ditulis Dr Muhammad Ilyas Abdul Ghani, dijelaskan masjid ini direnovasi besar-besaran pada 1986.

Kala itu, Pemerintah Arab Saudi bahkan mengeluarkan dana hingga 90 juta riyal Saudi untuk memperluas masjid ini yang nantinya bisa menampung 20 ribu jamaah yang mengunjunginya. 

Dalam sejarah yang dituliskan, tokoh Islam yang memegang peranan penting dalam pembangunan masjid ini adalah Sayyidina 'Ammar Radhiyallahu lanhu.

Ketika Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, pria ini mengusulkan untuk membangun tempat berteduh bagi sang Nabi di kampung Quba yang tadinya hanya terdiri atas hamparan kebun kurma. 

Kemudian, dikumpulkanlah batu-batu dan disusun menjadi masjid yang sangat sederhana. Meskipun tak seberapa besar, paling tidak bangunan ini bisa menjadi tempat berteduh bagi rombongan Rasulullah. Mereka pun bisa beristirahat kala siang hari dan mendirikan shalat dengan tenang.

Rasulullah SAW meletakkan batu pertama tepat di kiblatnya dan ikut menyusun batu-batu selanjutnya hingga bisa menjadi pondasi dan dinding masjid. 

Rasullullah SAW dibantu para sahabat dan kaum Muslim yang lain. Ammar menjadi pengikut Rasulullah yang paling rajin dalam membangun masjid ini.

Tanpa kenal lelah, ia membawa batu-batu yang ukurannya sangat besar, hingga orang lain tak sanggup mengangkatnya. 
Ammar mengikatkan batu itu ke perutnya sendiri dan membawanya untuk dijadikan bahan bangunan penyusun masjid ini. Ammar memang selalu dikisahkan sebagai prajurit yang sangat perkasa bagi pasukan Islam. Dia mati syahid pada usia 92 tahun.
Pada awal pembangunannya yang dibangun dengan tangan Rasulullah sendiri masjid ini berdiri di atas kebun kurma. 
Luas kebun kurmanya kala itu 5.000 meter persegi dan masjidnya baru sekitar 1.200 meter persegi. Rasulullah sendiri pula yang mengonsep desain dan model masjidnya.
Meskipun sangat sederhana, Masjid Quba boleh dianggap sebagai contoh bentuk masjid-masjid selanjutnya. Bangunan yang sangat sederhana kala itu sudah memenuhi syarat-syarat yang perlu untuk pendirian masjid.

Masjid ini telah memiliki sebuah ruang persegi empat dan berdinding di sekelilingnya. Di sebelah utara dibuat serambi untuk tempat sembahyang.
Dulu, ruangan ini bertiangkan pohon kurma, beratap datar dari pelepah, dan daun korma yang dicampur dengan tanah liat. Di tengah-tengah ruang terbuka dalam masjid yang kemudian biasa disebut sahnterdapat sebuah sumur tempat wudhu. 

Di sini, jamaah bisa mengambil air untuk membersihkan diri. Dalam masjid ini, kebersihan selalu terjaga, cahaya matahari dan udara pun dapat masuk dengan leluasa. [sp/rol]
 

Sabtu, 04 Januari 2014


Umar bin Khattab Cerdas Mengelola Keberanian 

oleh :

Hatta Syamsuddin

dakwatuna.com – Kegelisahan melanda sebagian besar pemuka Quraisy. Gurat wajah mereka mengeras penuh beban. Kabar angin bahwa beberapa penduduk Yatsrib telah masuk Islam dan siap menampung kaum muslimin membuat mereka tak bisa lagi terlelap. Belum lagi saat Rasulullah SAW benar-benar menyuruh kaum muslimin untuk berhijrah ke negeri impian itu, mereka pun meningkatkan siksaan pada kaum muslimin yang tersisa di tanah suci. Berbondong-bondong, pelan namun pasti, kaum muslimin berhijrah dari Mekah ke Yatsrib dengan sembunyi-sembunyi. Dan pasukan Quraisy pun semakin meningkatkan penjagaan batas kotanya.
Kegelisahan itu tak terbendung lagi saat Umar bin Khattab mendeklarasikan niatnya untuk berhijrah.  Pemuda pemberani itu membawa pedang yang siap dihunuskan setiap saat, lalu shalat dan thawaf sejenak di Baitullah, sementara seluruh mata Quraisy tajam tertuju pada sosok tinggi besar itu. Usai thawaf, Umar naik ke atas bukit memandang sekeliling dengan pandangan yang teguh nan angkuh. Ia berseru lantang menciutkan hati kafir Quraisy. Ucapannya yang begitu tegas terpampang dalam sejarah orang-orang pemberani: “Barang siapa yang menginginkan istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim, maka temui aku dibalik bukit ini!!! “.  Ucapan yang tajam bak pedang terhunus. Menginjak-injak kesombongan dan harga diri kafir Quraisy. Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka, bahwa sosok Umar kini benar-benar menantang keberanian mereka.
Pemuda itu tidak sedang bercanda dengan ucapannya. Ia tidak menantang dengan sembarang ucapan. Ia tidak memberi peluang kemenangan. Ia tidak menantang pada posisi lemah bahkan tidak pula seimbang. Ia menantang dalam posisi kemenangan! Karenanya ia memilih kalimat yang tajam: “Barang siapa yang menginginkan istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim ….. “. Habis sudah kesombongan yang sempat terpatri dalam barisan Quraisy. Mereka bagaikan kerbau dicocok hidung. Tak ada respon, tak ada kemarahan. Bahkan wajah mereka pun seolah tertunduk kalah. Dan Umar bin Khattab pun melenggang tenang ke Madinah. Allahu Akbar!
Jangan tergesa menuduh Umar bin Khattab nekad setengah mati. Jangan pula terburu berlebihan memuji bahwa ia super pemberani tanpa strategi. Tidak, sekali-kali tidak. Yang sedang dilakukan oleh Umar adalah mengelola potensi keberanian dengan cerdas. Ia sedang berstrategi dengan mengukur kemampuan dan potensi diri. Ia tahu persis kapan harus melakukan serangan ‘psyco war’ yang tajam menghujam, sebagaimana ia juga tahu kapan saat harus mundur teratur mengganti strategi.  Inilah yang dilakukan Umar di medan Hudaibiyah. Saat seribuan lebih pasukan muslim di Madinah hendak menunaikan umrah di tanah suci, kafir Quraisy pun bersegera mengancam untuk menahan mereka mati-matian.  Lalu Rasulullah SAW pun meminta Umar untuk menjadi utusan resmi, melobi pihak Quraisy agar membuka pintu Mekah bagi kaum muslimin yang akan umrah. Tapi kali ini Umar menolak dengan halus permintaan Rasulullah SAW yang sangat dihormatinya. Umar RA merekomendasikan Utsman bin Affan agar menjadi utusan berikutnya.
Ada apa dengan Umar? Ke mana keberaniannya saat Hijrah seorang diri menantang seluruh penduduk Quraisy? Apakah keberaniannya mati suri setelah beberapa tahun menikmati kenyamanan ‘Madinah”?  Tidak, sekali-kali tidak. Kali ini Umar RA pun sedang memainkan strateginya. Ia cerdas mengelola keberanian. Ia tidak sedang takut dan bahkan tidak pernah terbesit dalam hatinya rasa takut itu. Bagaimana ia bisa takut, sedangkan Rasulullah SAW saja menggambarkan sosok Umar sebagai satu-satunya manusia yang Jin pun enggan dan jengah berpapasan dengannya? Lalu apa yang dimaksudkan Umar dengan penolakannya itu?
Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah strategi. Keberanian Al-Faaruuq itu tetap utuh pada tempatnya. Tidak berkurang sedikit pun dalam dadanya. Ia mundur sejenak karena sebuah strategi. Ia selalu cerdas mengelola keberanian yang ia miliki. Mengapa Umar menolak menjadi utusan Rasulullah SAW dan justru merekomendasikan nama Utsman bin Affan? Kecerdasan Umar dalam mengelola keberanian bisa kita lihat dalam beberapa hal berikut ini.
Pertama: Umar sadar dengan potensi dirinya. Ia bukanlah tipe negosiator yang baik. Ia seorang yang tegas dan tak terlampau suka berdialog dengan penentang keberanian. Jika ia menjadi utusan, maka ia takut akan merusak agenda damai Rasulullah SAW yang datang ke Mekah untuk sebuah tujuan ibadah yang begitu mulia. Jadi pada titik ini, ia merasa bukan orang tepat untuk membawa pesan kedamaian!
Kedua: Umar bin Khattab lebih merekomendasikan Utsman, karena Umar tahu persis bahwa Utsman lebih handal dalam kemampuan lobby dan agitasi. Bukan itu saja, Umar juga tahu bahwa Utsman masih mempunyai kaki yang kokoh di Mekah, keluarganya masih tersebar banyak di tanah mulia itu. Mereka adalah jaminan tidak langsung bagi keselamatan Utsman saat memasuki wilayah Quraisy. Berbeda dengan Umar bin Khattab dari Bani ‘Adi, yang mempunyai akses sekuat keluarga Utsman di Mekah.
Ketiga: Umar menyadari sepenuhnya, bahwa kepalanya saat ini sangat berharga dalam pandangan orang-orang Quraisy.  Umar masuk dalam kategori ‘most wanted’ bagi keluarga veteran Badr dari pihak pasukan Quraisy. Betapa tidak? Ingatan pasukan Quraisy pasti tidak akan pernah lupa, bagaimana pedang Umar telah banyak menyambar kepala pemuka-pemuka mereka di medan Badar. Pedang Umar telah banyak menumpahkan darah yang begitu murah saat itu. Inilah yang menjadikan gigi mereka selalu bergemeretak penuh dendam saat mendengar nama Umar. Umar tahu persis akan hal ini, karenanya ia mundur sejenak bukan karena penakut. Tapi ia begitu cerdas tahu kapan saatnya maju dan mundur, dan tetap dalam keberanian yang kokoh.  Umar bin Khattab juga cerdas saat merekomendasikan nama Utsman, karena Umar tahu bahwa profil Utsman relatif netral di mata Quraisy. Mereka belum menyimpan amarah dan dendam yang begitu besar, karena Utsman bin Affan tidak pernah terlibat dalam pertempuran Badar. Utsman tidak ikut mengayunkan pedang bersama kaum muslimin lainnya di medan Badr, atas perintah Rasulullah SAW untuk fokus pada perawatan istrinya yang sedang terbaring sakit parah di Madinah.
Inilah kecerdasan Umar dalam mengelola keberanian. Tahu kapan saatnya tampil meruntuhkan kesombongan lawan, dan paham kapan ia harus mundur sejenak menyimpan keberanian untuk tidak ditampilkan.
Setiap kita mempunyai potensi keberanian. Setiap hari keberanian kita akan ditantang dengan berbagai permasalahan. Keberanian kita akan senantiasa diuji dengan permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan ini. Akan ada berbagai pilihan untuk membuat keputusan-keputusan besar yang senantiasa menggoda bagi kita untuk menjawabnya saat ini juga, apakah dengan menampilkan keberanian begitu saja apa adanya, ataukah menyimpannya sejenak dengan penuh kecerdasan dan strategi sebagaimana Umar bin Khattab mencontohkan?
Semua pasti akan mengalami saat-saat semacam ini. Para penentu kebijakan selalu saja dalam posisi yang gamang; Apakah menunjukkan keberanian untuk memuaskan harapan para pendukungnya? Agar keberanian itu tetap terjaga citranya di hadapan teman, keluarga atau bawahannya. Ataukah memilih mengelola keberanian itu dengan cerdas, menyimpannya sejenak, sehingga seolah terlihat tak ada keputusan yang berani, tetapi sejatinya yang ada adalah langkah jitu yang akan membuahkan kemenangan telak dan sekaligus membungkam lawan! Akhirnya, selamat mengelola keberanian Anda dengan cerdas. Semoga bermanfaat!


sumber copas : http://www.dakwatuna.com/2012/06/18/21122/umar-bin-khattab-cerdas-mengelola-keberanian/#axzz2pJsERhhZ
Pra-610 M: JAHILIYAH (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad saw mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: HIJRAH ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah
At-Thabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakr (4 orang) DILAHIRKAN pada MASA JAHILIYAH dari 2 isterinya ” (Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Thabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).
Nah kalau Aisyiah dilahirkan pada masa JAHILIYAH, seharusnya MINIMAL AISYAH BERUMUR 14 tahun KETIKA DINIKAHI NABI MUHAMMAD SAW.
4) Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma (Kakak Aisyah)
Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’ , Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’ l-risalah, Beirut, 1992).
Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani, p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).
Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, Asma SEHARUSNYA BERUSIA 27 atau 28 tahun KETIKA HIJRAH 622M)
JIKA ASMA berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (KETIKA AISYAH BERUMAH TANGGA), BERARTI AISYAH BERUSIA 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.
5) Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam perang Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama` a’lrijal) : “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”
Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’ b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya (umar) berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”
Berdasarkan riwayat diatas,
(a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan
(b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud (berarti USIA AISYAH LEBIH DARI 14 tahun).
Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

Jumat, 03 Januari 2014


Rajab dan Pembebasan Al-Aqsha 

 

dakwatuna.com - Bagi kaum Muslimin, bulan Rajab ini penuh dengan kenangan indah dan sedih sekaligus, bulan kemenangan sekaligus tragedi. Bulan ini menyaksikan pekik takbir kemenangan para pahlawan Islam pada berbagai pertempuran sekaligus genangan air mata bahkan darah. Semoga semua kejadian itu menginspirasi kita untuk menciptakan sejarah indah bagi kaum Muslimin yang akan dikenang oleh memori generasi sepeninggal kita kelak.
Di bulan ini satu setengah abad yang lalu Rasulullah di-isra’kan dari kota Mekkah ke kota Al-Quds, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Di sana Rasulullah melaksanakan shalat berjamaah dengan para rasul dan beliau menjadi imamnya. Sebuah mukjizat yang kian menegaskan kenabian dan kerasulan beliau. Kendatipun orang-orang yang diliputi kedengkian di hati mereka dan tertutup dari cahaya hidayah menolak untuk mengakuinya, bahkan mereka mengolok-oloknya.
Pada bulan ini juga, tepatnya 5 Rajab 15 H atau 12 Agustus 636 kaum Muslimin memenangi perang Yarmuk melawan tentara Romawi. Kemenangan ini menjadi pintu gerbang bagi berbagai kemenangan kaum Muslimin di negeri Syam. Di antaranya kira-kira setahun kemudian, kaum Muslimin menaklukkan kota Damaskus dengan panglima Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan Khalid bin Walid setelah pengepungan lama dimana tentara Romawi mempertahankan kota itu. Namun mereka tidak kuasa menahan pengepungan itu akhirnya terjadilah perundingan damai.
Lalu pada beberapa dekade kemudian pada bulan yang sama tahun 92 H. yang bertepatan 27 April 711 M. kaum Muslimin di bawah kepemimpinan Thariq bin Ziyad memasuki daratan pegunungan di Spanyol yang kemudian dikenal dengan Jabal Thariq (Giblaltar) setelah menyeberangi laut Tengah yang kemudian menjadi jembatan bagi berbagai kemenangan di negeri Andalusia ini.
Dan peristiwa spektakuler yang terjadi pada bulan Rajab ini, yaitu kira-kira satu abad yang lalu, seseorang yang berasal dari suku Kurdi memimpin kaum Muslimin untuk membebaskan Masjidil Aqsha dari tentara Salib. Di tanggal yang sama -menurut sebagian ulama- dengan kejadian Isra’ Mi’raj, yakni 27 Rajab tahun 583 H atau 2 oktober 1187 M. Shalahuddin Al-Ayyubi memasuki Baitul Maqdis setelah membebaskannya dari tangan-tangan tentara Salib dalam sebuah perang yang dimenanginya, Hitthin. Bersama kaum Muslimin beliau shalat Jum’at di Masjidil Aqsha setelah 88 tahun tidak pernah berkumandang azan selama dalam cengkeraman tentara Salib. Di atas mimbar yang dibuat oleh pemimpin seniornya, Nuruddin Mahmud Zanki yang tidak sempat menyaksikan terbebaskan Masjidil Aqsha karena telah dipanggil Allah 13 tahun sebelum kemenangan itu. Mimbar itu dipindahkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi dari Aleppo kemudian tetap berada di masjid itu selama berabad-abad sampai kemudian dibakar Yahudi tahun 1969.
Shalahuddin Al-Ayyubi  memasuki kota Al-Quds dan memaafkan penduduknya dan tidak ada penumpahan darah. Termasuk terhadap tentara yang tinggal di kota itu juga tidak memperlakukan sebagaimana tentara Salib terhadap kaum Muslimin ketika mereka menguasai Baitul Maqdis. Puluhan ribu orang terbunuh, bahkan mereka yang berlindung di Masjidil Aqsha dan Qubbatus Shakhrah
Shalahuddin yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk jihad di jalan Allah, menyatukan kaum Muslimin untuk memerdekakan negeri Muslim yang terjajah. Ditinggalkan nya negeri, keluarga, dan anak-anaknya dengan segala kemewahan dan ketenteramannya demi tercapainya cita-citanya, membebaskan Masjidil Aqsha. Seperti halnya Nuruddin Mahmud yang tidak pernah tersenyum semenjak Baitul Maqdis dikuasai tentara Salib. “Saya malu kepada Allah yang melihatku tersenyum sedangkan kaum Muslimin terjajah,” kata Nuruddin.
Saat ini Palestina dengan masjid sucinya kembali terjajah. Berawal dari bulan yang sama Zionis mengumumkan berdirinya Negara Israel, yakni pada 7 Rajab 1367 H. atau 15 April 1948 M. setelah mereka memenangi pertempuran melawan bangsa Arab.
Berdirinya negara Israel di Palestina tidak terlepas dari tragedi Rajab di Turki, dimana Mustafa Kamal Attaturk  yang  membubarkan Kekhalifahan Turki Utsmani. Tepat pada 27 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M. yang kemudian menobatkan dirinya sebagai pemimpin Turki dan mengusir khalifah beserta keluarganya ke luar negeri. Kemudian ia melakukan sekulerisasi di negeri itu dengan menutup kegiatan shalat di masjid Aya Sofia, mengambil sajadah-sajadahnya, mencopot hiasan-hiasan yang berbahasa Arab serta mimbarnya lalu merubahnya menjadi museum. Itu terjadi juga pada bulan Rajab, tepatnya 16 Rajab 1343 H atau 21 Februari 21 Februari 1925 M. Setahun kemudian ia mengeluarkan  instruksi berupa kewajiban membaca Al-Qur’an dengan bahasa Turki sebagai gantinya Al-Qur’an dengan bahasa Arab dengan dalih orang-orang Turki tidak bisa berbahasa Arab. Hal itu terjadi pada 28 Rajab 1344 H.
Kini Masjidil Aqsha, kiblat pertama kaum Muslimin dan masjid suci ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi itu masih merana di bawah tekanan dan penjajahan bangsa Yahudi. Namun sayangnya tidak ada lagi Shalahuddin Al-Ayyubi dan Nuruddin Mahmud Zanki. Ribuan kaum Muslimin Palestina menjadi korban kebiadaban bangsa Yahudi tanpa ada kekuatan Islam yang berani mencegahnya. Tidak negeri Arab apalagi bangsa lain non-Arab. Disaksikan oleh mata dunia mereka membantai warga Palestina, bukan saja tentara namun rakyat sipil, bahkan orang tua, wanita, dan anak-anak.
Berbagai upaya perundingan damai yang diprakarsai oleh Dewan Keamanan PBB selalu dilanggar oleh Israel. Mulai dari Camp David yang ditanda-tangani oleh pemerintahan Mesir dan Tel Aviv pada tahun 1979 sampai perjanjian Oslo yang dibuat tahun 1993 dan ditanda-tangani dengan Organisasi  Pembebasan Palestina (PLO) dengan melucuti otonomi Otoritas Palestina pada sebagian besar wilayah pendudukan.
Sifat ingkar janji ini memang karakter asli mereka sebagaimana yang diingatkan Al-Qur’an.
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman), “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertaqwa.” Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, Maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi.  Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina.” Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang Kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 63-66)
Kewajiban Kaum Muslimin
Di bulan yang mengaduk-aduk perasaan kaum Muslimin ini hendaknya tertanam keyakinan bahwa persoalan Masjidil Aqsha tidak saja masalah yang harus ditanggung dan dihadapi bangsa Palestina sendiri. Kendatipun mereka berada di barisan terdepan dalam membebaskan Negeri Isra’ dari penjajahan Yahudi. Ini adalah bagian dari aqidah yang diimani oleh para pahlawan kaum Muslimin yang berjuang untuk membebaskannya.
Masjidil Aqsha adalah masjid tertua kedua di muka bumi bagi kaum Muslimin setelah Masjidil Haram yang kemudian menjadi kiblat pertama mereka sebelum Masjidil Haram.
Abu Dzar bertanya, “Ya Rasulullah, masjid pertama yang dibangun di muka bumi itu apa?” beliau menjawab, “Masjidil Haram.” Kemudian aku bertanya lagi, “Lalu masjid apa lagi?” beliau menjawab, “Masjidil Aqsha.” Aku tanyakan lagi, “Berapakah jarak antara keduanya?” Beliau menjawab, “Empat puluh tahun. Lalu dimana pun kamu mendapati shalat, shalatlah di situ, sebab keutamaan ada di situ.” (Muttafaq Alaihi)
Kemudian Rasulullah saw. juga menempatkan Masjidil Aqsha sebagai salah satu dari tiga tujuan wisata spiritual dimana seseorang mendapatkan pahala saat mengunjunginya, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Bahkan beliau juga mengabarkan kepada kita keutamaan shalat di dalamnya sebagaimana sabda beliau,
الصَّلاةُ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ بِمِائَةِ أَلْفِ صَلاةٍ، وَالصَّلاةُ فِي مَسْجِدِي بِأَلْفِ صَلاةٍ، وَالصَّلاةُ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ بِخَمْسِمِائَةِ صَلاةٍ»
“Shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu shalat , shalat di Masjidku ini sama dengan seribu shalat, sedangkan shalat di Baitul Maqdis sama dengan lima ratus shalat (di tempat lain).” (Thabrani)
Secercah Harap
Bulan Rajab juga menjadi saksi bagi bergolaknya kembali aksi perlawanan bangsa Palestina terhadap penjajah Israel dengan sebuah aksi yang dikenal dengan Intifadhah Kedua. Yaitu pada 12 Rajab tahun 1422 H. atau 29 September 2000 M. Aksi ini dipicu oleh kunjungan provokatif yang dilakukan Perdana Menteri Ariel Sharon yang ketika itu juga menjabat ketua partai Likud. Ribuan warga Palestina bentrok melawan tentara bersenjata Israel demi mempertahankan Masjidil Aqsha. Aksi ini dinilai sebagai sebuah keberhasilan karena telah mengangkat masalah Palestina ke masyarakat dunia sekaligus mencoreng muka penjajah yang menggunakan segala cara dan alat tempur untuk menghentikan Intifadhah ini hingga terbunuh 3540 warga Palestina dan 60 ribu rumah luluh lantak akibat serangan rudal mereka. Ribuan warga terusir dari pemukiman mereka.
Jika saja bisa mengungkapkan, di bulan Rajab ini Masjidil Aqsha mungkin ingin menuturkan harapannya akan kedatangan Sang pembebas yang mengeluarkannya dari cengkeraman Zionis. Mengharapkan para pemimpin di dunia Arab dan Islam bersatu untuk menolongnya dari rekayasa Zionisme yang berupaya merobohkannya lalu membangun di atasnya Heikal Sulaeman, sebuah mitos dan khurafat rekaan mereka. mari kita tangisi diri kita yang tak mampu berbuat apapun untuk membebaskan kiblat pertama kaum muslimin ini.

 


Pesan Umar Bin Khattab RA kepada Pasukannya tentang Rahasia Kemenangan

Ilustrasi 
 
 
dakwatuna.com - Umar bin Khattab ra. pernah menulis sebuah surat berisi pesan untuk Sa’ad bin Abi Waqash ra. beserta pasukannya yang sedang pergi memerangi Persia di daerah Qadisiyah. Pesan ini bukan tentang strategi dan taktik perang, tapi tentang menjauhi kemaksiatan. Umar ra. menyatakan bahwa menjauhi kemaksiatan adalah kunci turunnya kemenangan dari Allah swt. Berikut pesan Umar ra. tersebut:
“Amma Ba’du. Aku memerintahkanmu dan seluruh anggota pasukan untuk bertakwa kepada Allah swt. dalam setiap keadaan. Karena takwa kepada Allah swt. adalah senjata yang paling kuat dan strategi yang paling jitu untuk mengalahkan musuhmu.
Aku memerintahkanmu dan seluruh anggota pasukanmu untuk berhati-hati terhadap perbuatan maksiat, lebih dari hati-hati kalian terhadap musuhmu. Karena maksiat yang kalian perbuat lebih aku khawatirkan daripada kekuatan pasukan musuh.
Allah swt. memberikan kemenangan kepada pasukan Islam disebabkan musuh-musuhnya yang berbuat kemaksiatab. Kalau bukan karena itu, niscaya pasukan Islam tidak akan berdaya menghadapi pasukan musuh. Karena jumlah pasukan Islam tak seberapa dibanding jumlah pasukan musuh; persenjataan pasukan Islam pun tak ada apa-apanya dibandingkan persenjataan musuh. Sehingga seandainya pasukan Islam dan pasukan musuh sama-sama berbuat maksiat, maka pasukan musuh akan menang karena mereka lebih kuat dari segi jumlah dan senjata. Jika pasukan Islam tidak berbuat maksiat, maka pasukan Islam akan menang, karena keshalihan mereka, bukan karena kekuatan mereka.
Kemudian ketahuilah, selama perjalanan kalian, Allah swt. mengirim para malaikat yang akan mengawasi. Mereka mengetahui apa yang kalian lakukan. Maka teruslah merasa malu kepada mereka. Janganlah kalian bermaksiat kepada Allah swt., padahal kalian sedang berada dalam jalan-Nya.
Janganlah kalian berkata bahwa kalian pasti akan menang karena musuh-musuh pasti lebih buruk dari kalian, sehingga mereka tidak akan mungkin menguasai kalian. Karena sangat mungkin sebuah kaum dikuasai oleh kaum yang buruk. Seperti Bani Israel yang dikuasai oleh kaum Majusi. Bisa demikian karena karena Bani Israel telah melakukan hal-hal yang membuat Allah swt. murka.
Mohonlah kepada Allah swt. agar menolong kalian melawan jiwa kalian, sama seperti kalian memohon pertolongan dalam melawan musuh-musuh kalian. Aku juga memohon hal itu untukku dan untuk kalian.” (msa/dakwatuna)

Kehidupan Masa Pra Aksara di Indonesia

Periodisasi zaman praaksara   Periodisasi zaman pra aksara dapat dibedakan berdasarkan geologi (ilmu yang mempelajari bebatuan)  ( Diambil d...