Umar bin Khattab Cerdas Mengelola Keberanian
oleh :
Hatta Syamsuddin
dakwatuna.com – Kegelisahan melanda sebagian besar
pemuka Quraisy. Gurat wajah mereka mengeras penuh beban. Kabar angin
bahwa beberapa penduduk Yatsrib telah masuk Islam dan siap menampung
kaum muslimin membuat mereka tak bisa lagi terlelap. Belum lagi saat
Rasulullah SAW benar-benar menyuruh kaum muslimin untuk berhijrah ke
negeri impian itu, mereka pun meningkatkan siksaan pada kaum muslimin
yang tersisa di tanah suci. Berbondong-bondong, pelan namun pasti, kaum
muslimin berhijrah dari Mekah ke Yatsrib dengan sembunyi-sembunyi. Dan
pasukan Quraisy pun semakin meningkatkan penjagaan batas kotanya.
Kegelisahan itu tak terbendung lagi saat Umar bin Khattab
mendeklarasikan niatnya untuk berhijrah. Pemuda pemberani itu membawa
pedang yang siap dihunuskan setiap saat, lalu shalat dan thawaf sejenak
di Baitullah, sementara seluruh mata Quraisy tajam tertuju pada sosok
tinggi besar itu. Usai thawaf, Umar naik ke atas bukit memandang
sekeliling dengan pandangan yang teguh nan angkuh. Ia berseru lantang
menciutkan hati kafir Quraisy. Ucapannya yang begitu tegas terpampang
dalam sejarah orang-orang pemberani: “Barang siapa yang menginginkan
istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim, maka temui aku
dibalik bukit ini!!! “. Ucapan yang tajam bak pedang terhunus.
Menginjak-injak kesombongan dan harga diri kafir Quraisy. Tidak pernah
terlintas dalam pikiran mereka, bahwa sosok Umar kini benar-benar
menantang keberanian mereka.
Pemuda itu tidak sedang bercanda dengan ucapannya. Ia tidak menantang
dengan sembarang ucapan. Ia tidak memberi peluang kemenangan. Ia tidak
menantang pada posisi lemah bahkan tidak pula seimbang. Ia menantang
dalam posisi kemenangan! Karenanya ia memilih kalimat yang tajam:
“Barang siapa yang menginginkan istrinya menjadi janda, atau anaknya
menjadi yatim ….. “. Habis sudah kesombongan yang sempat terpatri dalam
barisan Quraisy. Mereka bagaikan kerbau dicocok hidung. Tak ada respon,
tak ada kemarahan. Bahkan wajah mereka pun seolah tertunduk kalah. Dan
Umar bin Khattab pun melenggang tenang ke Madinah. Allahu Akbar!
Jangan tergesa menuduh Umar bin Khattab nekad setengah mati. Jangan
pula terburu berlebihan memuji bahwa ia super pemberani tanpa strategi.
Tidak, sekali-kali tidak. Yang sedang dilakukan oleh Umar adalah
mengelola potensi keberanian dengan cerdas. Ia sedang berstrategi dengan
mengukur kemampuan dan potensi diri. Ia tahu persis kapan harus
melakukan serangan ‘psyco war’ yang tajam menghujam, sebagaimana ia juga
tahu kapan saat harus mundur teratur mengganti strategi. Inilah yang
dilakukan Umar di medan Hudaibiyah. Saat seribuan lebih pasukan muslim
di Madinah hendak menunaikan umrah di tanah suci, kafir Quraisy pun
bersegera mengancam untuk menahan mereka mati-matian. Lalu Rasulullah
SAW pun meminta Umar untuk menjadi utusan resmi, melobi pihak Quraisy
agar membuka pintu Mekah bagi kaum muslimin yang akan umrah. Tapi kali
ini Umar menolak dengan halus permintaan Rasulullah SAW yang sangat
dihormatinya. Umar RA merekomendasikan Utsman bin Affan agar menjadi
utusan berikutnya.
Ada apa dengan Umar? Ke mana keberaniannya saat Hijrah seorang diri
menantang seluruh penduduk Quraisy? Apakah keberaniannya mati suri
setelah beberapa tahun menikmati kenyamanan ‘Madinah”? Tidak,
sekali-kali tidak. Kali ini Umar RA pun sedang memainkan strateginya. Ia
cerdas mengelola keberanian. Ia tidak sedang takut dan bahkan tidak
pernah terbesit dalam hatinya rasa takut itu. Bagaimana ia bisa takut,
sedangkan Rasulullah SAW saja menggambarkan sosok Umar sebagai
satu-satunya manusia yang Jin pun enggan dan jengah berpapasan
dengannya? Lalu apa yang dimaksudkan Umar dengan penolakannya itu?
Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah strategi. Keberanian
Al-Faaruuq itu tetap utuh pada tempatnya. Tidak berkurang sedikit pun
dalam dadanya. Ia mundur sejenak karena sebuah strategi. Ia selalu
cerdas mengelola keberanian yang ia miliki. Mengapa Umar menolak menjadi
utusan Rasulullah SAW dan justru merekomendasikan nama Utsman bin
Affan? Kecerdasan Umar dalam mengelola keberanian bisa kita lihat dalam
beberapa hal berikut ini.
Pertama: Umar sadar dengan potensi dirinya. Ia
bukanlah tipe negosiator yang baik. Ia seorang yang tegas dan tak
terlampau suka berdialog dengan penentang keberanian. Jika ia menjadi
utusan, maka ia takut akan merusak agenda damai Rasulullah SAW yang
datang ke Mekah untuk sebuah tujuan ibadah yang begitu mulia. Jadi pada
titik ini, ia merasa bukan orang tepat untuk membawa pesan kedamaian!
Kedua: Umar bin Khattab lebih merekomendasikan
Utsman, karena Umar tahu persis bahwa Utsman lebih handal dalam
kemampuan lobby dan agitasi. Bukan itu saja, Umar juga tahu bahwa Utsman
masih mempunyai kaki yang kokoh di Mekah, keluarganya masih tersebar
banyak di tanah mulia itu. Mereka adalah jaminan tidak langsung bagi
keselamatan Utsman saat memasuki wilayah Quraisy. Berbeda dengan Umar
bin Khattab dari Bani ‘Adi, yang mempunyai akses sekuat keluarga Utsman
di Mekah.
Ketiga: Umar menyadari sepenuhnya, bahwa kepalanya
saat ini sangat berharga dalam pandangan orang-orang Quraisy. Umar
masuk dalam kategori ‘most wanted’ bagi keluarga veteran Badr dari pihak
pasukan Quraisy. Betapa tidak? Ingatan pasukan Quraisy pasti tidak akan
pernah lupa, bagaimana pedang Umar telah banyak menyambar kepala
pemuka-pemuka mereka di medan Badar. Pedang Umar telah banyak
menumpahkan darah yang begitu murah saat itu. Inilah yang menjadikan
gigi mereka selalu bergemeretak penuh dendam saat mendengar nama Umar.
Umar tahu persis akan hal ini, karenanya ia mundur sejenak bukan karena
penakut. Tapi ia begitu cerdas tahu kapan saatnya maju dan mundur, dan
tetap dalam keberanian yang kokoh. Umar bin Khattab juga cerdas saat
merekomendasikan nama Utsman, karena Umar tahu bahwa profil Utsman
relatif netral di mata Quraisy. Mereka belum menyimpan amarah dan dendam
yang begitu besar, karena Utsman bin Affan tidak pernah terlibat dalam
pertempuran Badar. Utsman tidak ikut mengayunkan pedang bersama kaum
muslimin lainnya di medan Badr, atas perintah Rasulullah SAW untuk fokus
pada perawatan istrinya yang sedang terbaring sakit parah di Madinah.
Inilah kecerdasan Umar dalam mengelola keberanian. Tahu kapan saatnya
tampil meruntuhkan kesombongan lawan, dan paham kapan ia harus mundur
sejenak menyimpan keberanian untuk tidak ditampilkan.
Setiap kita mempunyai potensi keberanian. Setiap hari keberanian kita
akan ditantang dengan berbagai permasalahan. Keberanian kita akan
senantiasa diuji dengan permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan
ini. Akan ada berbagai pilihan untuk membuat keputusan-keputusan besar
yang senantiasa menggoda bagi kita untuk menjawabnya saat ini juga,
apakah dengan menampilkan keberanian begitu saja apa adanya, ataukah
menyimpannya sejenak dengan penuh kecerdasan dan strategi sebagaimana
Umar bin Khattab mencontohkan?
Semua pasti akan mengalami saat-saat semacam ini. Para penentu
kebijakan selalu saja dalam posisi yang gamang; Apakah menunjukkan
keberanian untuk memuaskan harapan para pendukungnya? Agar keberanian
itu tetap terjaga citranya di hadapan teman, keluarga atau bawahannya.
Ataukah memilih mengelola keberanian itu dengan cerdas, menyimpannya
sejenak, sehingga seolah terlihat tak ada keputusan yang berani, tetapi
sejatinya yang ada adalah langkah jitu yang akan membuahkan kemenangan
telak dan sekaligus membungkam lawan! Akhirnya, selamat mengelola
keberanian Anda dengan cerdas. Semoga bermanfaat!
sumber copas : http://www.dakwatuna.com/2012/06/18/21122/umar-bin-khattab-cerdas-mengelola-keberanian/#axzz2pJsERhhZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar