Hukum MLM Dalam Pandangan Islam
Multilevel marketing – secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.
Demikian halnya
dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang
berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur
horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu,
masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing
perusahaan yang diikutinya.
Untuk masuk
dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus
menjadi member (anggota jaringan) —ada juga yang diistilahkan dengan
sebutan distributor— kadangkala membership tersebut dilakukan dengan
mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran,
disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai
point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan
point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan
multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus
yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian
langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan
oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya
dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah
bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel
marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga
yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
Namun, ada juga
point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik
langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran)
—sebagaimana istilah mereka yang dilakukan terhadap orang lain, agar
orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk.
Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk
satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership,
maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung
lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya
tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus
menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini
menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu
seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori
orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up
line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun
tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.
Fakta Umum Multilevel Marketing
Dari paparan di
atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing —sebagai bisnis
pemasaran— tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi
jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right
(kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan
antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan
berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus.
Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung,
(3) bonus jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga
jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir
semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan
dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold Quest, dll. Sementara
bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa
masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata
lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah
berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski,
perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah
referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, —istilah lainnya
sponsor, promotor— namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga
merupakan referee (pemakelaran).
Karena itu,
posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi: (1)
pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai
member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada
perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar,
karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang telah dia
lakukan— bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk
perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang
menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
Dari sini,
kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta
pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian
langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa
potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan
sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan
yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung.
Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses
pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.
Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari
fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa
praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua
hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1. Hukum dua
akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatayn
fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli
(bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran).
2. Hukum
pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau
TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik
(malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di
bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi
down line di bawahnya lagi.
Mengenai kasus
shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan
dalam hadits Nabis Saw, antara lain, sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan:
“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”*1)
Dalam hal ini,
asy-Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi
bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:
Jika seseorang
mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan
catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini.
Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun
menetapkan milik saya menjadi milik anda.”*2)
Dalam konteks
ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam
satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan
yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan
sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua
transaksi tersebut include dalam satu aqad.
2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:
“Rasululllah Saw telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*3)
Hadits yang senada dikemukan oleh at-Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:
“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*4)
Maksud hadits
ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas melarang praktek dua akad
(kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan).
3. Hadits Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
“Tidak
dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak
dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.”*5)
Hadits ini
menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai
contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan
pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli
dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang
terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa
digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli
dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan
dalam hadits tersebut.*6)
Dari dalalah
yang ada, baik yang menggunakan lafadz naha (melarang), maupun lâ
tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah
yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz
dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ tahillu/yahillu. Ini
mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu
akad, serta manath hukumnya.
Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai:
Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.*7)
Maka, suatu
tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab
(penawaran) dan qabul (penerimaan), ijab (penawaran) dari pihak pertama,
sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga
harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi
masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan: “Saya
jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk
penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda
dengan harga 50 juta”, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini
adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual
berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si
pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad
yang diperbolehkan oleh syara’.
Di samping itu,
Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu
dari dua perkara: zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya,
akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat
(barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad yang dilakukan
terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut
statusnya bathil.
Adapun praktek
pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays
bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:
“Kami biasa
membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan
samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah Saw
keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik
daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai para tujjar (bentuk
plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu
dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah’.”*
Hanya, yang
perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits
Rasulullah Saw sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika
mengemukakan hadits ini adalah:
”Simsar adalah
sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi
(upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.”*9)
Ulama’ penganut
Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah
meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan
samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:
“Jika
(seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah
menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah dal-nya, dalalat(an),
dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an)—
jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan
kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya
(pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.”*10)
Dari
batasan-batasn tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa
pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang
berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang
terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau
samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar
adalah sebagai orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan
(muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli.
Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith), maka
statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai
penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.
Hukum Dua Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM
Mengenai status
MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta
masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn
fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1. Ada MLM yang
membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi
member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi
member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain—
disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee
(makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM
seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi
shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut
telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara
bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan
sebagaimana hadits di atas.
2. Ada MLM yang
membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu
orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk
menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut
mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang
dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka
praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau
bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad,
yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia
membeli produk –meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan
pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama,
ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak
mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya
belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori
orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia
menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah
(pemakelaran).
3. Pada saat
yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan
harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan
akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan
jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di
kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang
mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk
mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli
produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa
kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon
dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan
karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap
barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan
karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i,
sehingga hukumnya tetap haram.
Ini dilihat
dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas
hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka
bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah
‘ala samsarah (pemakelaran terhadap pemakelaran). Karena justru inilah
yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari
aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini
tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang
dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan
dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini,
MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat
islam. Dengan demikian hukumnya haram.
Kesimpulan
Inilah fakta,
dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq
al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini
berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang
dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan
dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya —apakah halal ataukah
haram— maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM
adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus
dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun
produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad
(transaksi) yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
Adapun dari
aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika
produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka
akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu
merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’)
untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini
diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek
muamalahnya, maupun barangnya.
Dengan melihat
analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah
halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang
melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua
akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas
pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena
yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point)
dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.
Namun, jika ada
MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam;
tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi)
atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta
ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya
adakah MLM yang demikian?! Dari Pengalaman Penulis Sendiri,, hampir
dipastiakan tdk ada MLM yang demikian.
Zainal Abidin Al-Floresi
Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PCM Ngronggot Nganjuk
sumber copas dari : http://www.sangpencerah.com/2014/01/hukum-mlm-dalam-pandangan-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar